Prioritas Pariwisata Demi Kapitalis Semata




Oleh : Ammy Amelia
Pegiat Dakwah Literasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

Upaya pemulihan kondisi perekonomian tengah digencarkan pemerintah Indonesia. Tidak terkecuali pada sektor pariwisata. Pasalnya, sektor yang merupakan salah satu penyumbang devisa negara terbesar itu ikut lumpuh sejak terjadinya pandemi Covid-19.

Guna mendorong pariwisata agar kembali menggeliat, pemerintah rela merancang berbagai program dengan menggelontorkan dana milyaran rupiah. Masifnya para influencer dalam mempromosikan berbagai area wisata, seolah bertolak belakang dengan kondisi krisis masyarakat di tengah pandemi.

Dikutip dari ayobandung.com (1/10/2020), peneliti komunikasi dan media Universitas Padjajaran, S. Kunto Adi Wibowo, Ph.D. menyatakan "Sejak Agustus hingga September ada banyak percakapan negatif di media sosial dimana masyarakat bingung, hal apa yang sebenarnya harus dilakukan. Apakah travelling atau tetap diam di rumah?"

Seiring maraknya opini tersebut, peningkatan angka kasus positif Covid-19 di provinsi Bali kembali melonjak di akhir September 2020. Tentu saja hal tersebut terjadi setelah pemerintah setempat membuka kembali wilayahnya untuk wisatawan domestik. Jelas kebijakan membuka kembali wilayah pariwisata, memantik sentimen negatif di kalangan publik.

"Banyak orang berpikir bahwa program promosi tempat-tempat wisata lewat influencer untuk mengajak masyarakat pelesir dalam situasi pandemi adalah hal yang tidak tepat. Pemerintah tidak dapat memprediksi kemunculan pandemi sebagai suatu krisis yang suatu saat harus dihadapi. Karena tidak siapnya pemerintah, maka ujung-ujungnya yang dilakukan pemerintah adalah melakukan bisnis seperti biasa, mempertahankan ekonomi dengan promosi", tambah Kunto dalam paparannya di Konferensi Internasional The 2nd Padjajaran Communication Conference Series yang digelar secara daring, pada Kamis (1/10/2020).

Sungguh ironi dengan kebijakan pemerintah yang lagi-lagi menuai kontroversi. Alih-alih mencari solusi untuk menuntaskan persoalan pandemi, nyatanya justru tengah aktif mempromosikan parisiwata yang jelas dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Demi mempertahankan perekonomian negara, nyawa manusia seolah tidak berharga.

Namun, tak heran hal itu terjadi dalam sistem kapitalisme. Asas manfaat yang dipegang kuat oleh para kaum kapitalis telah mengugurkan empati kemanusiaan berdalih demi sebuah ketahanan.

Padahal ketahanan yang dimaksud tentu saja dalam rangka untuk mempertahankan eksistensi sektor pariwisata yang notabene banyak dikelola oleh pihak swasta. Dimana jika pariwisata tidak segera dibuka, maka para pengelola tersebut akan minus pendapatan. Sedangkan dalam kacamata materialistis, jelas hal tersebut dianggap sebagai ancaman yang membahayakan. Betapa kapitalisme menjunjung tinggi asas manfaat bagi segelintir golongan, tanpa melihat bagaimana dampaknya terhadap keberlangsungan hidup manusia.

Berbeda halnya dengan Islam. Dalam situasi pandemi seperti saat ini, jelas Islam akan lebih mengutamakan terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder dibandingkan pariwisata sebagai kebutuhan tersier. Faktanya, hal tersebut bukanlah faktor yang patut untuk diprioritaskan.

Terlebih dengan dibukanya area wisata, maka akan menyebabkan berkumpulnya banyak orang sehingga peluang tersebarnya virus akan semakin besar. Bukankah hal tersebut sudah cukup mengindikasi bahwa dibukanya sektor pariwisata bukanlah solusi ketahanan ekonomi kala pandemi?

Adapun penguatan ketahanan ekonomi saat pandemi dalam Islam, tidak lantas menjadikan pariwisata sebagai solusi untuk meningkatkan pendapatan. Karena sistem pemerintahan Islam memiliki kharaz, jizyah dan pendapatan lainnya sebagai sumber pendapatan negara. 

Negara dengan sistem pemerintahan Islam lebih mengutamakan keselamatan jiwa rakyat tanpa membebankan rakyat, karena peraturan yang dijalankan adalah peratuan sempurna nan paripurna yang mengacu pada syariat Sang Pembuat Aturan, Allah al-Mudabbir.

Wallahu'alam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak