Oleh: Noor Hidayah
(Pemerhati Sosial)
Apa kabar
Palestina? Tak banyak diberitakan media, kisahnya seakan surut. Namun, di bumi para
nabi ini perjuangan belum berhenti. Rakyat Palestina terus berjuang menghadapi
serangan-serangan Israel. Seperti yang terjadi pada Jumat 9 Oktober lalu, pasukan
Israel menembakkan gas air mata untuk membubarkan puluhan warga Palestina yang
memprotes pos pemukim Yahudi yang baru dibuat di Tepi Barat. Rentetan gas air
mata juga ditembakkan kepada sekelompok demonstran Palestina yang
tengah melaksanakan salat Jumat di lapangan setempat, Lalu pada 13 Oktober 2020,
lahan pertanian petani Palestina dirusak buldoser tentara Israel di sebelah
timur Khan Yunis di perbatasan Jalur Gaza selatan (liputan6.com).
Ironis, di tengah
perjuangan yang tiada henti ini, rakyat Palestina mendapat pengkhianatan dengan
adanya normalisasi hubungan Uni Emirat Arab dan
Bahrain dengan Israel. Perjanjian
normalisasi tersebut ditandatangani di Gedung Putih, Washington-Amerika
Serikat (AS), pada Selasa, 16 September 2020 lalu. Alih-alih membantu
perjuangan saudaranya di Palestina, mereka justru duduk berdampingan dengan
penjajah.
Bukan kali ini
saja negara-negara muslim mengkhianati perjuangan rakyat Palestina. Puluhan
tahun sebelumnya, telah terjadi perjanjian damai antara Mesir-Israel pada 1979.
Diikuti dengan perjanjian damai Israel-Yordania pada 1994. Kini, beberapa
negara lain juga akan menormalisasi hubungan dengan Israel. Penasihat khusus
Presiden Donald Trump terkait negosiasi Timur Tengah Avi Berkowitz
memperkirakan ada tujuh negara muslim yang akan mengikuti UEA. Salah satu
negara tersebut adalah Maroko. Arab Saudi pun mengirimkan sinyal untuk berdamai
dengan Israel. Pada 11 September 2020, Imam Abdulrahman al-Sudais menyampaikan
khotbah Jumat yang dijuluki “pengkhianatan dari mimbar suci”. Khotbah tersebut
dianggap membawa pesan politik tersembunyi terkait normalisasi hubungan
UEA-Israel.
Sikap
negara-negara muslim ini merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Palestina. Telah
hilang rasa persaudaraan sesama muslim bahkan rasa kemanusiaan dari hati
mereka. Lantas, bagaimana masa depan Palestina jika terus seperti ini?
Sejarah Penjajahan Palestina
Wilayah Palestina
telah dirampas Israel selama beberapa dekade. Pada 1917, Inggris mengeluarkan
Deklarasi Balfour yang menjadikan Palestina sebagai “rumah nasional untuk
rakyat Yahudi”. Pada 1947, PBB membagi wilayah Palestina menjadi tiga bagian:
untuk Yahudi, Arab, dan perwalian internasional di Yerusalem. Sejak itu, Israel
menguasai semua wilayah Palestina kecuali Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Akibat pendudukan
Israel, kini wilayah Palestina hanya tersisa 15 persen (minanews, 1/3/2020).
Pakar geografi dari Komunitas Studi Arab di Yerusalem, Khalil al-Tafakji
mengatakan, pada 2030, eksistensi Palestina akan tersisa 12 persen (Republika,
9/11/2011). Biro Statistik Pusat Palestina (PCBS) mengatakan, jumlah warga
Palestina dan Arab yang gugur sejak Nakba mencapai 100.000 jiwa. Terdapat satu
juta kasus penangkapan sejak 1967. Jumlah tawanan di penjara penjajah Israel
sekitar 5.700 jiwa pada akhir Maret 2019 (melayu palinfo, 14/5/2019).
Atas berbagai aksi
penjajahan rakyat Palestina tersebut, negeri-negeri muslim justru berdampingan
dengan Israel sang penjajah. Mereka juga tunduk pada tuannya Israel yakni AS.
Pengkhianatan ini terjadi hanya untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Kekuasaan yang dimiliki
para raja tersebut adalah hasil pengkhianatan mereka terhadap Khilafah
Utsmaniyah. Dulu, semua negeri muslim berada di bawah satu payung yakni
Khilafah Islamiyah. Namun, Inggris melalui antek-anteknya meruntuhkan Khilafah
pada 1924. Sebelum
Khilafah benar-benar runtuh, para penguasa di wilayah Arab telah condong pada
Inggris dan mengkhianati Utsmaniyah. Benih-benih perlawanan terhadap Turki Utsmani
sudah muncul sejak 1915. Salah seorang agen Inggris bernama Thomas Edward
Lawrence terlibat dalam banyak insiden perlawanan tersebut di berbagai tempat. Hingga
akhirnya pada 1918, militer Hejaz memperoleh kemenangan atas Turki Utsmaniyah
dengan bantuan Inggris. Misi Inggris (bersama Prancis) untuk menguasai Jazirah
Arab pun tercapai. Syarif Hussein lalu berkuasa di Hejaz. Pangeran Faisal
menjadi penguasa di Irak dan Suriah. Pangeran Abdullah menjadi penguasa di
Jordan. Dan pada 1932, Abdul Azis mendeklarasikan nama Arab Saudi yang
merupakan gabungan Hejaz dan Najd. Dengan runtuhnya Utsmaniyah, mereka menjadi
raja di wilayah masing-masing. Ketika Timur Tengah “diambil” dari Inggris oleh AS,
loyalitas mereka pun beralih. Sebagai jaminan atas kekuasaannya, mereka tunduk
pada AS dan mengkhianati Palestina.
Solusi Hakiki bagi Palestina
Hingga kini, negara-negara
bangsa terbukti gagal melindungi Palestina dari penjajahan Israel.
Negeri-negeri Arab pun lebih mementingkan kekuasaannya daripada menolong sesama
saudaranya. Kita tak bisa berharap lagi pada negara-negara tersebut untuk
melindungi Palestina. Apalagi PBB, kita pun tidak bisa berharap padanya. PBB
justru memberikan pengakuan atas Israel. Sampai sekarang, organisasi ini tidak
pernah memberikan sanksi atas kejahatan perang AS dan Israel.
Institusi yang
terbukti bisa melindungi Palestina hanyalah Khilafah Islamiyah. Akar masalah
Palestina adalah ketiadaan Sang Pelindung, yakni Khilafah. Sehingga, solusi untuk
membebaskan Palestina adalah dengan mewujudkan institusi ini. Khilafah akan
memimpin kaum muslim di seluruh dunia untuk berjihad ke Palestina. Khilafah
akan melindungi seluruh wilayah kaum muslim dari penjajahan. Saat itulah Yahudi
Israel akan kembali dikalahkan seperti peristiwa Yahudi Qainuqa, Quraidhah, dan
Khaibar. Jika kita mendambakan penderitaan kaum muslim berakhir; tak hanya di
Palestina, tapi di Uyghur, India, Bosnia dll, langkah praktisnya adalah
mewujudkan negara Khilafah. Inilah yang akan menumpas musuh-musuh Islam, inilah
yang akan menumbangkan Yahudi Israel dari bumi Palestina. Wallahu a’lam
bishshawab.