Oleh : Tri Puji Astuti
Mengenang
kembali peristiwa gelombang massa demonstrasi yang menyuarakan penolakan
disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja yang terjadi di sejumlah daerah sejak 6
sampai 8 Oktober lalu. Aksi demo ini bukan hanya dilakukan oleh serikat buruh,
tapi juga dari elemen masyarakat lainnya termasuk mahasiswa dan pelajar. Berada
di garda terdepan, ribuan mahasiswa turun ke jalan menyuarakan penolakan
Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Lantaran
pemerintah dan DPR mengulang kembali peristiwa pengesahan sebuah UU dengan cara
yang tak lazim. Mereka merancang sebuah aturan dan mengesahkannya tanpa memberi
kode kepada masyarakat secara senyap dan secepat kilat. DPR, DPD dan perwakilan
pemerintah Jokowi resmi menyetujui agar Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker)
ditetapkan menjadi Undang-Undang.
Pengusaha
merespons langkah mahasiswa yang menggelar demo menolak Omnibus Law Cipta Kerja
(Ciptaker). Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Shinta Widjaja Kamdani, “UU ‘sapu jagat’ ini dibuat untuk menciptakan lapangan
kerja yang manfaatnya bisa dirasakan para mahasiswa”
“Mahasiswa
itukan pencari kerja nantinya. Jadi ini kan kita lakukan untuk mereka juga gitu
supaya lapangan pekerjaannya ada. Kok malah didemo. Jadi kadang-kadang kita
juga nggak mengerti nih tujuannya apa kok bisa ada demo-demo mahasiswa seperti
ini,” kata dia saat dihubungi detik.com, Kamis (8/10/2020).
Sebuah
UU Ciptaker (Omnibus Law) dinilai memiliki arti penting bagi para penggerak
ekonomi global, tetapi tidak pada pelaku ekonomi menengah kebawah atau para
buruh pekerjanya. Maka wajar, jika penolakan pengesahan UU ini masih sangat
masif dari berbagai pihak, karena mereka hanya meminta keadilan dan haknya
sebagai rakyat Indonesia. Dan dengan berlakunya UU Ciptaker ini, terindikasi
semakin jauhnya jaminan kesejahteraan ekonomi dan fasilitas pekerja dari para
pengusaha ekonomi global.
Mahasiswa
adalah generasi yang memiliki intelektual yang satu napas dengan rakyat,
betul-betul dapat merasakan apa yang dirasakan oleh para buruh, masyarakat yang
ada, aktivitas lingkungan, dan lainnya, yang merasa dirugikan oleh UU Ciptaker
ini. Karena mahasiswa
memiliki intelektual lebih daripada masyarakat lainnya, sehingga wajar jika
mereka termasuk kalangan yang akan menjadi ahli dalam bidang tertentu, termasuk
ahli ekonomi nantinya. Dimana mereka akan ditanya terkait solusi terhadap
permasalahan. Kelak, merekalah yang akan menjadi pemimpin masa depan.
Adapun
turun ke jalan merupakan wujud aspirasi dan ekspresi mereka terhadap
langkah-langkah DPR dan pemerintah yang abai terhadap aspirasi mereka bersama
rakyat lainnya. Sebagai
negara demokratis, bukankah sudah selayaknya negara mendengar dan membiarkan
aksi yang dilakukan mahasiswa ini? Bukan malah menghadang dan menolak hingga
terjadi kekerasan yang tak wajar seperti yang terjadi dibeberapa wilayah.
Terlepas dari adanya beberapa oknum mahasiswa yang anarki atau pihak-pihak yang
berupaya merusak aksi damai mahasiswa.
“Apalagi
para yang namanya mahasiswa, belajar tak hanya di ruang kuliah sesungguhnya
para mahasiswa adalah lingkungan masyarakat itu sendiri. Mengikuti aksi
demonstrasi adalah bagian dari laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen
perubahan. Menjauhkan mahasiswa dari rakyat, sama saja menjauhkan ikan dari
lautan luas,” ujar Satriawan Salim selaku Koordinator Perhimpunan untuk
Pendidikan dan Guru (P2G). (Pikiranrakyattasikmalaya.com, 11/10/2020).
Begitu
banyak respon dari kalangan masyarakat yang menyesalkan pengesahan UU ini, hal
ini menunjukkan keberpihakan kinerja parlemen lebih kepada kepentingan lain di
atas kepentingan rakyat. Semestinya, rancangan UU yang penuh penolakan dari
masyarakat harus mendapat perhatian serius dari wakil rakyat untuk menjadi
pertimbangan mencari jalan keluar terbaik di masa yang akan datang. Padahal
hingga hari ini, mereka terus dihujani protes dari serikat buruh, mahasiswa,
hingga koalisi masyarakat sipil.
Rasulullah
ﷺ mempertegas pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis: “Mereka (para
budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah
asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas
yang sangat berat, dan seperti itu, maka hendaklah membantu mereka
(mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Islam
menjamin kebutuhan pokok warganya per kepala, kesehatan dan pendidikan gratis
bagi rakyat. Semua dilakukan semata-mata menunaikan amanah sebagai pengurus
rakyat agar rakyat sejahtera.
Wallahu
a’lam bi ash shawab.