Oleh: Rumaisha Shahin
(Aktivis BMI Community Kota Kupang, Member AMK)
Wanita adalah tiang negara. Jika baik wanitanya maka baik pula negara tersebut. Akan tetapi jika jelek wanitanya maka jelek pula negara tersebut. Dalam sejarah peradaban dunia, setiap peradaban mencetak wanita yang berbeda. Peradaban mulia Islam telah banyak mencetak wanita tangguh yang melahirkan generasi penerus peradaban Islam yang gemilang.
Setiap sistem memiliki cara pandang dan memperlakukan wanita berbeda-beda. Dalam kapitalis-sekuler saat ini banyak penyimpangan yang terjadi dikalangan perempuan. Lagi-lagi tanggal 18 September menjadi sebuah momentum sejarah. Untuk pertama kalinya Indonesia bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut berpartisipasi dalam merayakan hari Kesetaraan Upah Internasional kemarin. Momen tersebut didukung oleh Organisasi Perburuan Internasioal (ILO) UN. (kumpara.com, 19/09/2020).
Setiap menjelang peringatan hari Kesetaraan Upah Internasional, sayup-sayup terdengar suara pembelaan terhadap nasib perempuan. Saat ini tenaga kerja perempuan masih dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki. Oleh sebab itu, ditengah pandemi peringatan ini memberikan kesempatan bagi semua aktor pasar kerja untuk mengambil langkah stategis sebagai bagian dari upaya respons dan pemulihan Covid-19.
Diantaranya adalah dengan penghapusan bias dan stereotip gender, serta masih banyak lagi. (entereneur.bisnis.com, 21/09/2020).
Inilah potret kehidupan perempuan dalam sistem kapitalis. Masalah kaum perempuan hari ini diatasi dengan solusi-solusi dangkal yang berujung pada ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Faktanya bahwasan kesenjangan upah diselesaikan dengan seremoni peringatan Hari Kesetaraan Upah. Solusi seperti ini hanya akan mendatangkan masalah baru nantinya. Karena solusinya tidak sistematis.
Diskriminasi pada perempuan, khususnya kesenjangan upah yang terjadi, berpangkal pada cara pandang ideologi kapitalis yang cacat dan rusak. Mereka menyamakan perempuan dengan barang yang bisa diperjual-belikan. Bukan dianggap sebagai mitra setara dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan. Cara pandang yang bebas dan individualis yang membentuk perempuan dalam sistem ini. Semua ini terjadi karena mereka salah memposisikan peran perempuan.
Sehingga perhatian terhadap kesejahteraan perempuan juga diwujudkan dengan cara eksplotatif. Cara ini tidak sesuai dengan fitrah seorang perempuan. Yakni dengan mendorong perempuan bekerja secara terus-menerus tanpa khawatir terhadap kesenjangan upah yang terus terjadi. Perempuan akan terus dimanfaatkan tenaga, waktu, serta pikirannya, meskipun upah yang diterima tidak sebanding dengan kerja kerasnya. Seperti itulah sistem kapitalis dalam memperlakukan perempuan.
Bukan hanya itu saja, akan tetapi mereka juga berusaha untuk menghilangkan hambatan pada perempuan untuk terjun ke semua pekerjaan. Terlalu luar biasa solusi yang ditawarkan ini, seakan-akan membuat perempuan dilahirkan hanya untuk dimanfaatkan tenaganya saja. Usaha ini dilakukan agar perempuan tidak lagi menuntut negara untuk menjamin kesejahteraannya. Dengan begitu disatu sisi para kapitalis selalu menggaungkan perubahan pada nasib perempuan.
Lantas apa sebenarnya standar kesuksesan dari seorang perempuan? Kapitalis mengukur kesuksesan dengan capaian materi dan posisinya didepan umum sedangkan dalam Islam kesuksesan utama seorang insan, khususnya perempuan adalah dengan parameter takwa. Allah Swt berfirman, yang artinya: “…Sungguh orang yang paling mulia diantara kalian ialah orang yang paling bertakwa…” (TQS. Al-Hujurat: 13). Takwa dalam arti menjalankan seluruh perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya.
Begitu sempurnanya Islam, sehingga mengatur keseluruhan dari kehidupan seorang perempuan. Islam tidak pernah memandang perempuan sebagai benda, melainkan sebuah kehormatan yang akan selalu dijaga. Penjagaan Islam terhadap perempuan berupa hukum pakaian,wali, mahram, waris, segala hukum yang berkaitan dengan fungsi ibu dan pengatur rumah tangga (jaminan nafkah). Sehingga bekerja tidak menjadi sebuah kewajibannya seorang perempuan, akan tetapi menjadi tanggung jawab para mahramnya.
Pelaksanaan hukum-hukum penjagaan ini menjadi sempurna dengan adanya peran negara dalam Islam. Dalam Islam negara wajib memastikan pemenuhan segala hak perempuan dan pelaksanaan kewajibannya secara sempurna. Negara akan menghukum kepala keluarga yang tidak memberikan nafkah kepada perempuan/istri dan anak-anaknya dengan standar yang layak. Negara menyelenggarakan sistem pendidikan yang menunjang fungsi utama perempuan. Negara pun menjaga sistem media dan penerangan, dengan mengawasi pemilik media massa dalam memberikan informasi.
Demikianlah Islam memberikan kesejahteraan bagi perempuan dalam sebuah institusi negara yaitu khilafah. Maka mestinya segala pihak menyadari bahwasannya kebutuhan mendesak perempuan saat ini adalah mewujudkan kembalinya khilafah, perempuan butuh Khilafah yang akan menjadi perisai dan pelindung. “Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang dibelakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud,dll).
Wallahu a’lam bi ash-shawab.