Oleh: Ummu Zayta
DPR RI mendapat banyak kecaman dan protes pasca meresmikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin.
Sejumlah serikat pekerja/buruh kompak menolak terbitnya UU Cipta Kerja dengan berbagai alasan. Mulai dari penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), penghapusan hak cuti dan hak upah atas cuti, hingga jadi pintu masuk bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk berbondong-bondong datang ke Indonesia. (Liputan6.com/6/10/20)
Tak dapat dielakkan demonstrasi besar-besaranpun terjadi di berbagai kota. Aksi mogok kerja selama tiga hari dilakukan ribuan buruh sebagai bentuk penolakan atas UU kontroversial ini. Bagaimana tidak, alih- alih bicara tentang kesejahteraan rakyat UU Ciptaker ini dinilai menindas rakyat kecil, merugikan buruh dan mengabaikan HAM.
Sebenarnya UU Ciptaker ini untuk kepentingan siapa disahkan? Benarkah demi rakyat? Atau siapa sebenarnya?
Koalisi masyarakat sipil menilai ada pelanggaran prosedur dari penyusunan RUU Cipta Kerja. Pemerintah dinilai tidak melibatkan publik saat menyusun draft padahal jelas-jelas peraturan itu akan berdampak luas bagi masyarakat.
Koalisi juga menilai Pemerintah mengabaikan prinsip yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ketika buruh dan masyarakat sipil lain dihambat, pengusaha justru sebaliknya. Partisipasi mereka dibuka lebar-lebar. Buktinya, Pemerintah membentuk Satgas Omnibus Law yang langsung dikepalai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani. Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjadi pengarah.(tirto.id/9/10/2020)
Selain alasan substansial lain seperti merusak lingkungan dan semakin dikebirinya hak-hak pekerja cita atas pengesahan UU ini, lebih miris lagi UU ini disahkan pada masa pandemi dimana kondisi perekonomian masyarakat sangat memprihatinkan.
Sesuatu yang tidak masuk akal lagi adalah DPR mengesahkan UU Ciptaker ini di tengah malam dan dianggap mendesak, segenting itukah mengesahkan UU yang secara terang-terangan ditolak masyarakat luas?
Masyarakat tak berharap banyak. Melainkan wakil rakyat dan pemerintah mau mendengarkan aspirasi mereka, sebagaimana para anggota DPR dan penguasa yang mengemis suara masyarakat agar bisa menjabat.
Kebijakan DPR dan pemerintah secara sistematis tidak memihak kepada masyarakat melainkan memenangkan kepentingan kaum kapitalis. Hal ini terjadi berulang dan akan pasti terulang. Karena sistem dan aturan berasal dari manusia yang terbatas bukan dari Sang Pencipta. Masyarakat harus cerdas melihat bahwa hanya dengan aturan Allah negeri ini akan selamat dari kebobrokan.
Wallahu a'lam.
Tags
Opini