Oleh; Miratul Hasanah
(Pemerhati masalah kebijakan publik)
وَيَقُولُونَ
طَاعَةٌ فَإِذَا بَرَزُوا مِنْ عِنْدِكَ بَيَّتَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ غَيْرَ
الَّذِي تَقُولُ ۖ وَاللَّهُ يَكْتُبُ مَا يُبَيِّتُونَ ۖ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا
Artinya; " mereka (orang-orang
munafik) mengatakan: "(Kewajiban kami hanyalah) taat". Tetapi apabila
mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari mereka mengatur siasat di malam
hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah
menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari
mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung.(Qs.An-nisa;
81)
Akhirnya pada jam 21.30 atau pada malam hari para wakil
rakyat yang diwakili pemimpin rapat paripurna DPR mengetok palu tanda disahkannya
RUU Omnibus Law menjadi UU.Undang-undang sangatlah kontroversial karena
pasal-pasalnya lebih banyak memihak kepada para cukong dan para investor daripada
kepada para buruh atsipun rakyat pribumi.menjadi angin segar bagi para
globalist cabal serta para investor asing dan aseng dengan menempatkan buruh
hanya sebagai sapi perah bagi kepentingan bisnis kapital mereka. Apalagi dengan
dilegalkannya UU tersebut semakin memudahkan
pekerja TKA masuk ke Indonesia,dampaknya akan semakin membuka lebar pengangguran
bagi penduduk pribumi.Gelombang protes para buruh dan mahasiswa seperti menjadi
angin lalu bagi pejabat negeri ini yang mengatasnamakan wakil rakyat, akan
tetapi pada hakikatnya menjadi alat penguasa untuk membunuh rakyat secara pelan-pelan.Anggota
DPR yang katanya sebagai wakil rakyat juga telah berubah menjadi wakil dari para
cukong yang didukung oleh rezim penghianat amanah rakyat.
Kapitalisme sosialisme biang keroknya
Derivat dari sistem kapitalisme adalah demokrasi
yang melahirkan liberalisasi dalam segala bidang. Kebebasan kepemilikan telah
menjadi jalan bagi para imperialis untuk bisa menguasai seluruh kekayaan
disuatu negara. Tidak hanya SDA yang mereka kuasai, akan tetapi sumber daya
manusianya juga mereka kendalikan.
Dengan disahkannya RUU CIPTAKER tersebut,
pemilik perusahaan bisa dengan seenaknya memberlakukan pengaturan terhadap upah
minimum, cuti, maupun penghilangan dana pensiun.Perusahaan juga tanpa bersalah melakukan
PHK massal jika diinginkan tanpa adanya pesangon bagi para buruh ataupun
karyawan perusahaan.
Cara Islam Mengatasi Masalah Perburuhan
Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi
dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh,
yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan
kelayakan gaji buruh. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji
mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk
mempertahankan hidup mereka.Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah
eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh.
Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan sosialisme
tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan
sebagainya.
Kaum kapitalis pun terpaksa melakukan
sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, dan
tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai standar dalam penentuan gaji
buruh.
Jadi, masalah perburuhan yang terjadi
sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem Kapitalisme, yaitu
kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost terendah yang
dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh. Karena itu, masalah perburuhan
ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan dibangun berdasarkan
sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan
kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum sosialis, namun tambal sulam ini
secara natural hanya sekadar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi,
jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah
perburuhan, jelas hanya klaim bohong.maka Islam Mengharamkan Kebebasan
Kepemilikan.Oleh karena konsep kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyyah) tidak
ada dalam Islam. Konsep ini juga ditentang oleh Islam. Solusinya, Islam
mengajarkan konsep Ibahatu al-Milkiyyah, bukan Hurriyah Milkiyyah.Dua konsep
ini jelas berbeda. Jika konsep Hurriyah Milkiyyah ini membebaskan manusia untuk
bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal dan
haram, maka konsep Ibahatu al-Milkiyyah jelas tidak. Karena justru faktor halal
dan haramlah yang menentukan status kepemilikan seseorang, apakah boleh atau
tidak. Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia, dan hukum
asalnya mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat
dengan cara yang ditentukan oleh syariah. Seperti berburu, menjadi broker,
bekerja dan sebab kepemilikan lain yang dibolehkan oleh syariah.Setelah harta
berhasil dimiliki, Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan
untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual beli, sewa menyewa, dan
sebagainya. Karena itu, dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi
seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang
harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika
apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang
juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah
konsep Ibahatu al-Milkiyyah.Islam juga mengharamkan kebebasan bekerja. Konsep
ini juga ditentang oleh Islam. Islam hanya mengenal konsep Ibahatu al-‘Amal.Sebagaimana
konsep kebebasan kepemilikan, konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal) ini
juga membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat
apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Orang boleh bekerja sebagai
pelacur, mucikari, membuat khamer, termasuk menghalalkan segala cara. Semuanya
bebas. Itulah konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal).Ini berbeda dengan
konsep Ibahatu al-‘Amal. Karena justru faktor halal dan haramlah yang
menentukan boleh dan tidaknya pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang.
Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Tiap
Muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk
menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariah. Dia boleh bekerja
sebagai buruh, berdagang, bertani, berkebun, tetapi ketika dia melakukan
pekerjan tersebut harus terikat dengan hukum syariah. Karena itu, dia tidak
boleh memproduksi khamer, melakukan jual beli babi, membudidayakan ganja, atau
bekerja di perseroan saham, bank riba, kasino, dan sebagainya. Karena jelas
hukum pekerjaan tersebut diharamkan oleh Islam.
Solusi Islam: Standar gaji buruh
Dalam menentukan standar gaji buruh,
standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang
diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak
akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri
sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan
yang berlaku di tengah masyarakat.Jika terjadi sengketa antara buruh dan
majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah
sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya
tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut
untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk
mengikuti keputusan pakar tersebut.Dengan demikian, negara tidak perlu
menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak
diperbolehkan.
Hak berserikat dan serikat pekerja
Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka
hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan sesama
buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya hak
berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut membentuk
serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda.
Mengenai hak mogok kerja, pada dasarnya hak
ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh ini merupakan akad
ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad suka rela
yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.
Tentang dana pensiun, penghargaan dan
kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk
tambal sulam sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap
tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk
memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya.
Dengan demikian, berbagai solusi yang
dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi,
sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi
sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu,
masalah perburuhan ini selalu muncul dan muncul, karena tidak pernah
diselesaikan.
Konsep dan solusi Islam di atas benar-benar
telah teruji, ketika diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama akan
terulang kembali, jika kelak khilafah berdiri, dan Islam diterapkan.
Wallahu a’lam bi ash-showwab.