Pengesahan UU Ciptaker, Ilusi Penciptaan Lapangan Kerja



Oleh : Ressa Ristia Nur Aidah

Berbagai elemen masyarakat mulai dari para buruh, mahasiswa, hingga pelajar SMK hingga k-popers kompak bergabung turun ke jalan untuk menolak Omnibus Law. Hal ini jelas sangat wajar, karena UU ini sangat menzalimi para pekerja. UU Cipta Kerja dibuat untuk kepentingan kapitalis, bukan untuk kebaikan bersama.

Investasi telah dijadikan kedok oleh penguasa dan DPR untuk mendapat justifikasi atas ketok palu Omnibus Law. Seolah-olah pasca disahkannya UU Cipta Kerja investasi akan deras masuk Indonesia. Lalu jutaan lapangan kerja akan terbuka, pengangguran terserap dan buruh sejahtera.

Nyatanya, itu semua omong-kosong belaka. Besarnya investasi selama ini tidak berpengaruh pada pembukaan lapangan kerja. Poin-poin Omnibus Law justru merugikan pekerja. Karena kesejahteraan mereka makin  dikebiri. Padahal selama ini kalangan buruh sudah kesulitan untuk bisa hidup layak, apalagi di masa wabah covid-19 ini.
Fraksi Partai Demokrat DPR walk out saat rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja untuk menjadi undang-undang. Anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman menilai, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sudah sewenang-wenang dalam memimpin. Menurutnya, pengambilan keputusan tingkat II pada RUU Cipta Kerja harus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Namun masih ada dua fraksi yang menolak, yakni Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

DPR sahkan RUU Ciptaker tanpa memperhatikan aspirasi penolakan publik. DPR mengesahkan di tengah malam. UU Omnibus Law Cipta Kerja yang zalim ini bisa lahir karena proses demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Meski nyatanya dari rakyat, oleh penguasa dan untuk kapitalis, UU produk demokrasi tetap dianggap sah di negeri ini.

Jelaslah bahwa rakyat tak bisa berharap perubahan hakiki jika masih berada di sistem demokrasi yang zalim ini. Rakyat harus mengubah dari luar sistem. Yakni mengubah sistem demokrasi menjadi sistem yang akan menyejahterakan rakyat. Yaitu sistem Islam.

Dalam sistem Islam, besaran upah kaum buruh harus sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja. Tidak dikaitkan dengan standar hidup mininum masyarakat.

Pemenuhan kebutuhan dasar rakyat menjadi tanggung jawab penguasa, bukan pengusaha. Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyat seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Negara juga memudahkan rakyat untuk bekerja memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pengusaha tidak dibebani untuk menanggung hajat hidup pekerja. Namun, pengusaha wajib memenuhi hak upah pekerja secara ma’ruf.

Perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya. 
Majikan/perusahaan haram  mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah. Semua ini termasuk kezaliman yang akan diselesaikan negara dengan sanksi yang akan membuat jera.
Adapun di saat terjadi perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, negara wajib menyelesaikan secara adil dengan syariat Islam. Dengan penerapan syariat Islam, buruh akan sejahtera dan pengusaha akan nyaman dalam berbisnis.
Sudah selayaknya pergerakan rakyat diarahkan kepada perubahan sistem dari demokrasi menuju sistem Islam secara kaffah. Sehingga kesejahteraan yang diidamkan selama ini bisa terwujud sempurna. Bukan hanya retorika dan mimpi belaka. Wallahu a’lam bishshawab. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak