Oleh:
Nur Khasanah
Demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Begitulah jargon yang selama ini digaungkan. Demokrasi juga
diklaim sebagai sistem pemerintahan terbaik karena setiap warga negara berhak
untuk menyalurkan pendapatnya, berhak untuk memilih, ataupun dipilih. Pemimpin dipilih sendiri oleh rakyat, begitu
pula dengan para dewan yang nantinya mewakili suara mereka. Aspirasi rakyat
adalah masukan berharga. Kesejahteraan rakyat adalah tujuannya. Demokrasi
sendiri berasal dari kata demos (rakyat) dan kreitos (kekuasaan), dalam KBBI
demokrasi memiliki arti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta
memerintah dengan perantaraan wakilnya dan lebih sering diartikan kekuasaan
yang berasal dari rakyat. Di Indonesia, sistem demokrasi sudah lama di gunakan,
yaitu sejak kemerdekaan negara Indonesia sampai saat ini meski dengan beberapa
versi yang berbeda. Yang jelas dari sistem ini, rakyat mengharapkan
kesejahteraan dan kemakmuran. Di Indonesia sendiri, suara rakyat di wakili oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Aspirasi rakyat akan di tampung dan digodok oleh
DPR. Sehingga dapat ditarik kesimpulan apa yang diteurkan oleh DPR itu lah
suara mayoritas rakyat.
Faktanya,
Belum lama ini, DPR telah mengesahkan
undang-undang ciptaker yang langsung menuai kritik dari berbagai lapisan
masyarakat. Para tokoh mengkritik, para buruh mengeluh dan protes, para
mahasiswa dan pemuda pun menyuarakan pendapatnya. Bukan kali pertama ini saja,
banyak sekali undang-undang yang menuai kritik dari berbagai pihak padahal DPR
telah di klaim sebagai tempat suara mayoritas rakyat. Faktanya dalam kepimpinan
saat ini saja terdapat beberapa UU yang menuai kontroversi semisal UU KPK, UU
minerba, UU MK dan selanjutnya UU ciptaker. Lalu suara siapa yang ada di balik
DPR hingga banyak dari keputusannya ditolak oleh masyarakat? Untuk kepentingan
siapa UU tersebut diketuk palu?
Ternyata tak cukup sampai disini, UU yang
terkesan dipaksakan ini telah menyulut kektitisan para pemuda terutama
mahasiswa. Alhasil, banyak sekali demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah.
Seakan tidak terima, suara yang sedikit demi sedikit membesar ini pun
dibungkam. Melalui para dosen, mereka diminta untuk tidak memprovokasi
mahasiswa agar menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, untuk turun ke jalan melalui
surat nomor 1035/E/KM/2020. Ancaman-ancaman ditujukan bagi yang mengikuti aksi
penolakna UU ini. Bahkan penangkapan- penangkapan pun di lakukan untuk
menghentikan demonstrasi. Dijumpai pula penyusupan aparat di tengah- tengah
demonstran untuk menyulut emosi.
Benarkah suara pemuda ingin dibungkam?
Terlalu banyak fakta yang terlihat jelas. Bukankah seharusnya pemuda adalah
tonggak perubahan? Kekritisan para pemuda justru di alihkan dan diciutkan.
Dengan dalih demi kesejahteraan. Dalam demokrasi pemuda tak akan dibiarkan
kritis untuk membela rakyat. Mereka dinina bobokkan dengan tugas-tugas kampus
dan meraih nilai tertinggi, mereka disuguhi tontonan-tontonan menghipnotis dan
angan-angan tak berujung. Berbagai hiburan difasilitasi. Bahkan disuruh untuk
berkiblat pada para K-pop. Kekritisan mereka dimatikan dengan tuntutan-tuntutan
akademis. Para pemuda hanya dididik menjadi buruh di negeri sendiri.
Padahal pemuda adalah tonggak perubahan,
agen of change. Dalam Islam pemuda adalah orang-orang yang memiliki potensi
dalam mengukir sejarah. Cukuplah Ali bin Abi Tholib menjadi pemuda jenius di
masanya, Usamah bin Zaid di usianya yang ke 18 menjadi pemimpin pasukan, Atab
bin Usaid juga di usia ke 18 diangkat oleh Rasulullah sebagai gubernur di
mekkah, Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstantinopel di usianya yang ke 22
tahun dan menjadi sebaik-baik pemimpin. Tentu masih sangat banyak nama yang
telah terukir dalam sejarah sistem Islam. Sedangkan dalam demokrasi pemuda
kritis dengan berbagai potensi adalah sebuah ancaman karena mereka takut suatu saat
kekuasaannya akan roboh oleh kekritisan.
Inilah perbedaan sistem demokrasi kapitalis
dan sistem Islam dalam memandang potensi pemuda dalam perubahan.
Wallahu a’lam bish-showab