Oleh: Rumaisha Shahin
(Aktivis BMI Community Kota Kupang dan Member AMK)
Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi bagian timur Indonesia. Tidak diragukan lagi, di tempat ini kita akan dimanjakan dengan keindahan alamnya yang masih asri. Memiliki gugusan-gugusan pulau yang begitu indah. Hal inilah yang menarik para wisatawan dalam maupun luar negeri sering berkunjung ke daerah ini. Bukan hanya itu saja, potensi dari daerah ini berupa kekayaan alam, hutan, perkebunan, persawahan, tambang-tambang semua ada.
Di tengah pandemi yang masih melanda negeri ini khususnya NTT, Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat membuka kembali wisata Wae Rebo. “Mulai hari Minggu ini Kampung Adat Wae Rebo kita buka kembali untuk wisatawan. Kami siap untuk menerima tamu kembali dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Untuk itulah saya datang kesini, untuk membuka wisata disini”, ungkapnya dalam Kunjungan Kerja (KunKer) ke Desa Adat Wae Rebo, Minggu (06/09/2020). (radarntt.co, 09/09/2020).
Walaupun Gubernur NTT Victor Bungtilu Laiskodat telah memutuskan agar destinasi wisata Wae Rebo kembali dibuka bagi wisatawan, namun Warga Wae Rebo menolak keras. Seorang tokoh muda sekaligus petugas medis Walter Rahman menegaskan bahwa untuk sementara waktu destinasi wisata ini belum bisa menerima kunjungan wisatawan. Karena akan memberikan dampak buruk terhadap kesehatan warga. Apalagi fasilitas kesehatan untuk menangani pasien Covid-19 seperti ADP masih kurang didaerah ini, tegasnya saat Ia ditemui. (matanews.net, 14/09/2020).
Di tengah masih tingginya kasus infeksi dan kematian akibat covid-19 ditingkat nasioanal maupun lokal, Gubernur NTT masih sempat-sempatnya memikirkan untuk membuka tempat wisata. Keputusannya untuk membuka destinasi wisata Desa Wae Rebo dengan alasan untuk menyelamatkan perekonomian yang rusak akibat pandemi Covid-19. Di sinilah kita dapat melihat watak penguasa di sistem kapitalis-sekuler itu lebih mementingkan manfaat atau untung ruginya semata. Kesehatan dan keselamatan masyarakat menjadi sesuai yang tidak terlalu diprioritaskan.
Gubernur pun mengatakan pengunjung diwajibkan untuk mematuhi protokol kesehatan. Meskipun dengan himbauan seperti ini, akan tetapi tidak menuntut kemungkinan untuk tidak tersebar atau terjangkitnya masyarakat dengan Covid-19. Karena di tempat wisata seperti ini terbilang ramai, bukan hanya wisatawan dalam negeri, luar negeri pun berpeluang untuk ada. Pada akhirnya nyawa rakyat yang akan menjadi ancaman terbesar bahkan menjadi tumbal dibukanya tempat wisata ini.
Bukan hanya itu saja, akan tetapi banyak kalangan masyarakat yang menolak karena beberapa alasan. Fasilitas kesehatan tidak mendukung keputusan Gubernur ini dijalankan. Terutama alat-alat kesehatan APD yang kurang memadai, bahkan jumlahnya pun tidak mencukupi. Bagaimana mau menyelamatkan perekonomian, jika subjek dari penggerak perekonomian tersebut akan berkurang jika keputusan ini dijalankan. Penolakan warga ini tidak dihiraukan juga oleh Kepala Dinas dengan alasan lebih mematuhi intruksi dan keputusan Gubernur.
Inilah potret dari sistem kapitalisme, persahabatan antara penguasa menjadi sesuatu yang wajar jika sama-sama memiliki kepentingan. Kepala Dinas yang seharusnya lebih dekat dan memihak pada masyarakat kini pun tunduk dan patuh pada kebijakan pemimpin kapitalis. Manfaat, untung rugi, kepentingan menjadi standar mereka dalam menetapkan kebijakan. Baik sebelum pandemi, saat pandemi pun standar ini masih menjadi favoritnya para penguasa kapitalis. Lantas, bagaimana Islam mengatur tentang pariwisata sendiri? Terutama disaat pandemi.
Dalam sistem pemerintahan Islam pariwisata bukan merupakan sumber devisa utama, sehingga tidak terlalu diandalkan untuk memperbaiki perekonomian masyarakat, terutama di musim wabah seperti ini. Negara Islam mengandalkan sumber devisa utama dari pos fai-kharaj, kepemilikan umum dan pos sedekah. Syariat Islam juga melarang pembiaran asing berkuasa atas kaum Muslimin. Negara Islam tidak akan membiarkan celah sedikit pun bagi asing terbuka walaupun hanya bisnis pariwisata.
Lebih dari itu tujuan utama dipertahankannya pariwisata adalah sebagai sarana dakwah dan di’ayah (propaganda). Menjadi sarana dakwah karena manusia biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Tafakur alam menjadi sarana untuk menumbuhkan dan mengkokohkan keimanan pada Allah Swt. Menjadi sarana propaganda adalah untuk menyakinkan siapapun tentang bukti-bukti keagungan dan kemuliaan peradaban Islam.
Apalagi disaat pandemi seperti ini negara Islam lebih memprioritaskan penyelesaian pandemi dan menjamin terpenuhinya kebutuhan primer rakyat melalui sumber devisa utamanya, bukan kebutuhan tersier seperti berwisata. Diantaranya memisahkan yang sehat dan sakit, mengoptimalkan penyembuhan pasien yang yang terinfeksi virus, memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik serta fasilitas yang terbaik, dan memfasilitasi para ilmuwan dan peneliti dengan dana besar untuk menemukan vaksin.
Dengan demikian kita sudah melihat gambaran bahwasannya tak ada satu hal pun yang tidak diatur dalam Islam. Termasuk dalam menepatkan pariwisata, agar negara Islam menjadi negara yang mandiri, mulia dan tangguh. Sudah sewajarnya kita sebagai seorang Muslim menginginkan agar Islam bisa diterapkan kembali. Apalagi pasca pandemi yang perekonomian kapitalis seluruh dunia sedang merosot.
Wallahu a’lam bishawab.