Oleh: Rumaisha Shahin
(Aktivis BMI Community Kota Kupang, Member AMK)
Pemuda dalam tubuh umat adalah sumber kekuatan, karena fisik dan pemikiran pemuda sangat kuat. Pemuda adalah arsitek kehidupan, mereka yang merancang masa depan hingga berusaha untuk mewujudkannya. Mereka memiliki banyak potensi dan kekuatan, memiliki banyak waktu dan cita-cita. Sejarah dan peradaban Islam yang gemilang selalu menghadirkan pemuda-pemuda bermental baja, berjiwa penakluk, serta berhati emas.
Setiap peradaban mencetak pemuda yang berbeda-beda. Pemuda pada peradaban Islam berbeda dengan pemuda peradaban kapitalis-sekuler. Karena peraturan yang mengikat antara kedua jenis pemuda ini pun berbeda. Pemuda yang masih memegang erat aturan Sang Pencipta menjadi langka dalam sistem sekuler. Pemuda identik dengan mahasiswa. Mahasiswa adalah mereka-mereka yang belajar di perguruan tinggi. Seperti kata orang maha digunakan hanya untuk menyandingkan dua kata yaitu mahasiswa dan maha kekuasaan Allah Swt.
Kini kebebasan mahasiswa dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki mulai dibatasi. Mahasiswa baru yang berasal dari Universitas Indonesia (UI) diminta untuk menandatangani pakta integritas. Pakta intergritas ini mengatur juga soal kehidupan politik dan berorganisasi mahasiswa. Sebelum mahasiswa baru diperebutkan oleh organisasi atau kelompok tertentu, yang memiliki tujuan tertentu pula maka UI terlebih dahulu membuat pakta intergritas. (beritasatu.com, 12/09/2020).
Setelah beredar berita mengenai pakta intergritas ini UI pun menyebut bahwasannya dokumen pakta integritas mahasiswa baru tak resmi. Kepala Biro Humas dan KIP UI menjelaskan bahwa dokumen berjudul pakta integritas telah beredar dikalangan mahasiswa baru UI bukan merupakan dokumen resmi yang telah menjadi keputusan pemimpin UI. Sebelumnya BEM UI menentang pakta integritas ini, karena ada beberapa poin diantarnya yang melarang mahasiswa terlibat dalam politik praktis, serta dilarang mengikuti kegiatan yang diadakan oleh mahasiswa yang tidak mendapatkan izin resmi. (cnnindonesia.com, 13/09/2020).
Berbagai problem yang menimpa kalangan pemuda, khususnya mahasiswa beragam. Mulai dari pergaulan yang berujung pada kebebasan tanpa batas, narkoba, krisis moral. Hingga sampai pada persoalan yang seharusnya menjadi hak setiap mahasiswa yaitu UKT yang tinggi. Pendidikan dijadikan sebagai komoditas bagi pemilik modal, dan tidak dibarengi dengan fasilitas kampus yang memadai. Melihat semua permasalahan tersebut kemudian UI pun mengeluarkan pakta integritas untuk mahasiswa baru. Pertanyaannya apakah solusi ini sudah tepat sasaran, ataukah hanya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu saja?
Solusi ini tidak tepat sasaran, karena masih adanya mahasiswa yang menggunakan narkoba, moral mahasiswa yang mulai rusak, tidak dapat terselesaikan hanya dengan solusi dangkal seperti ini. Hanya dengan menandatangani pakta ini, semua tidak ada jaminan untuk berhenti. Jika mahasiswa sendiri tidak memiliki sebuah kesadaran penuh untuk mulai memperbaiki kehidupannya sendiri, maka semua akan terus berlanjut. Ditambah lagi aturan bebas ala sistem liberal, semakin bebas lah mahasiswa untuk melakukan hal yang tidak pantas dilakukan.
Bukan hanya itu, perjanjian ini dinilai arah dan sasarannya adalah memberangus arus kesadaran politik penuh dari kalangan intelektual bangsa, yang akan meneruskan peradaban di negeri ini. Sikap kritis mahasiswa dikekang oleh kampus yang katanya menjadi wadah untuk berdialog. Mahasiswa-mahasiwa yang kritis akan kebijakan hari ini pun akan distigmatisasi sebagai cikal bakal radikalisme. Inilah nuansa kampus sekuler-liberal.
Peran mahasiswa sebagai agen perubahan mulai digantikan secara perlahan. Mahasiswa dipisahkan dari kehidupan politik. Suara-suara yang akan memberikan aspirasi dari masyarakat kini berlahan dibungkam. Mahasiswa difokuskan hanya untuk mengurusi perkuliahan saja, tidak perlu ikut campur dalam urusan pemerintahan.
Kebijakan semacam ini akan melahirkan masalah baru yang tentunya akan lebih buruk lagi. Tidak ada lagi kalangan intelektual yang kritis. Kritis dalam mengoreksi apa-apa yang menjadi kebijakan daripada negara. Jangankan negara, dalam ranah kampus saja mereka akan lebih susah. Akhirnya masyarakat akan kesulitan dalam menyalurkan aspirasi mereka. Lantas, apakah kita akan tenang saja melihat kondisi seperti ini?
Akar masalah dari persoalan ini bukan hanya sebatas kurangnya pembinaan, pengajaran, serta kontrol dari kampus. Akan tetapi akar permasalahan ini menyangkut pada problem yang sistemik. Dan seharusnya diberikan pemahaman kepada mahasiswa untuk menghadirkan solusi tuntasnya. Bukan mala membuat mahasiswa semakin takut dalam menyuarakan solusi tuntas ini. Karena pada dasarnya sistem pendidikan tinggi dalam sistem kapitalis-sekuler, berbeda dengan Islam.
Pendidikan merupakan kebutuhan vital dalam sistem Islam, maka negara pun tidak memungut biaya pendidikan baik bagi yang Muslim maupun non Muslim. Fasilitas pendidikan pun bermutu tinggi dalam rangka mendukung maju dan suksesnya para mahasiswa. Pendidikan tinggi dalam sistem Islam dirancang untuk mencapai tiga tujuan yaitu: Memfokuskan dan memperdalam kepribadian Islam, membentuk gugus tugas yang mampu melayani umat, dan mempersiapkan gugus tugas yang akan menjaga urusan umat.
Dengan melihat bagaimana tujuan dari pendidikan tinggi dalam sistem Islam, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwasannya peran seorang mahasiswa intelektual muda, tidak terlepas dari peran untuk berpolitik. Karena politik dalam Islam berarti mengurusi urusan umat. oleh karena itu sebagai generasi pembaharuan, maka kita seharusnya siap untuk melakukan pembaharuan secara menyeluruh sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As, ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: “Wahai bapaku mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong sedikitpun. (TQS. Maryam: 42). Berjuanglah, sampai peradaban emas itu tegak ditangan para pemuda.
WalLahu a’lam bi ash-shawab.