Oleh:
B. Carmila (Aktivis Mahasiswa)
Rangga yang kini disebut sebagai Pahlawan Cilik dari
Aceh, gugur ditebas parang saat berjuang selamatkan ibunya dari pemerkosa. Nama
Rangga pun mendadak menjadi trending topik di Twitter dan puluhan warganet
Indonesia menyebutnya sebagai “Rangga Pahlawan Kecil”, ia adalah pahlawan cilik
di Nanggroe Aceh, tepatnya dari Aceh Timur.
Dilansir dari Serambinews.com, pada malam itu Sabtu
(10/10/2020), “Rangga terbangun dan melihat ibunya akan diperkosa, lalu Rangga
berteriak dan mencoba melindungi ibunya. Namun, pelaku pemerkosa dan pembunuhan
itu benar-benar sadis tak punya rasa kemanusiaan. Dia seakan tak peduli, bahwa
Rangga yang akan dilawannya adalah seorang bocah cilik. Tanpa ampun, pelaku
menebaskan parangnya ke bagian leher Rangga, dilanjutkan dengan menusuk Pundak sebelah
kiri dan bagian dada masing-masing sebanyak satu kali. Tak hanya itu, pelaku
pemerkosa, Samsul Bahri, kemudian juga mencekik leher dan membenturkan kepala
ibunya Rangga ke rabat beton jalan yang berjarak 50 meter dari rumah korban.”
Sungguh, kejadian ini membuat kita semua merasa sesak,
pilu dan sedih. Bocah berumur sembilan tahun di Aceh ini dibunuh secara sadis
karena membela ibunya yang hendak diperkosa. Parahnya, ternyata pelaku pemerkosa
ibu Rangga dan pembunuh Rangga ini merupakan napi asimilasi yang sebelumnya
menjadi terdakwa kasus pembunuhan di Riau tahun 2005.
Kementeriaan Hukum dan HAM pada bulan Mei lalu memang
telah meluncurkan kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana dan telah membebaskan
39.876 orang selama masa pandemi demi Covid-19. Menkumham, Yasonna Laoly
mengatakan, kebijakan ini dilaksanakan berdasarkan alasan kemanusiaan dan
sesuai rekomendasi PBB untuk seluruh dunia demi pencegahan Covid-19.
Kebijakan pemerintah ini pun menuai kritik dari Guru Besar
Hukum Pidana Unsoed, Prof. Hibnu Nugroho. Ia mengatakan pasca para napi bebas,
lapas tidak menyimpan sistem kontrol para napi dan hanya sekedar dibebaskan.
Dan inilah yang mengkhawatirkan karena kondisi ekonomi yang sulit ditengah pandemi
corona membuat sejumlah napi kembali nekat berulah. Tak butuh waktu lama, pada
akhir Mei lalu aparat kembali menangkap 140 napi karena berulah lagi.
Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Pidana Universitas
Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai bahwa kasus pembunuhan Rangga jadi salah
satu indikator kegagalan konsep pembinaan dilembaga pemasyarakatan. Ia juga
menilai over kapasitas lapas adalah akibat tidak ada koordinasi yang baik antar
aparat disistem peradilan pidana. SINDOnews, Sabtu (17/10/2020).
Sekarang penjahat dengan sangat bebas berkeliaran. Hanya
dengan alasan mencegah Covid-19, penguasa membebaskan para narapidana. Inilah akibatnya,
para penjahat kembali melakukan tindak kejahatannya. Bahkan, tanpa memandang lagi
kepada siapa dia melakukan tindak kejahatan tersebut. Hanya karena ingin memuaskan
nafsu belaka, pelaku seakan sudah tidak memiliki rasa belas kasihan terhadap anak
kecil tersebut bahkan hingga tega membunuhnya secara sadis. Sungguh ini adalah
kejadian yang sangat miris, yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Melihat keadaan negeri ini yang semakin hari semakin kacau
bahkan penguasa sendirilah yang membuat negeri ini menjadi tidak aman. Tentu masalah
ini tidak jauh dari akibat diterapkannya sistem Sekulerisme-Kapitalisme.
Rangga hanyalah seorang anak kecil yang menjadi salah
satu korban kelalaian penguasa dalam mengurusi negeri ini. Ia juga dikenal
sebagai anak yang berprestasi dan rajin mengaji Al-Quran, namun sayangnya masa
depannya harus direnggut oleh penjahat yang dibiarkan berkeliaran oleh
penguasa. Seharusnya penguasa memikirkan betul-betul setiap kebijakan yang
diambil. Karena setiap kebijakan yang diberlakukan tentu akan berdampak kepada
seluruh masyarakat. Merajalelanya kriminalitas ini menunjukkan bahwa eksistensi
sistem peradilan dan hukum di negeri ini telah gagal memberikan rasa aman dan
memberantas kriminalitas.
Hal ini berbeda, ketika hukum dipandu dengan Syariat
Islam dalam bingkai Khilafah. Dengan panduan syariat Islam para pejabat menjamin
rasa aman kepada setiap individu masyarakat. Disisi lain, sistem kehidupan
Islam meminimalisir kriminalitas. Individu-individu masyarakat yang ada di dalam
Khilafah akan berperilaku sesuai dengan syariat. Ketaatan mereka terhadap aturan
negara ialah bukti keimanan kepada Sang Pencipta yakni Allah SWT. Sehingga, tindakan
kriminalitas akan jarang ditemui dalam negara Khilafah. Hal ini akan dibarengi
dengan pengaturan negara yang berfokus pada kemaslahatan rakyat. Sehingga
kebutuhan pokok mereka terpenuhi, seperti sandang, pangan, papan, keamanan, pendidikan
dan kesehatan adalah hal yang dijamin oleh negara Khilafah.
Selain itu, ketika terjadi tindakan kriminal pelaku
diberi sanksi sesuai dengan syariat. Fungsi sistem sanksi dalam Islam ialah sebagai
zawajir (pencegah dan pembuat jera) bagi orang lain untuk melakukan kejahatan
yang sama. Serta jawabir (penebus dosa pelaku kelak di akhirat). Khusus sanksi
pembunuhan, Islam menetapkan sanksi hudud sebagaimana Nabi Muhammad SAW
bersabda,
“Sungguh hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dari
pada terbunuhnya seorang Muslim.” (H.R. Ibnu Majah no. 2619).
Islam juga menaruh perhatian besar pada keamanan
manusia. Nyawa manusia sangat berharga dalam Islam. Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya siapa saja yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Q.S. Al-Maidah:32).
Jika ada orang yang melanggar ketentuan ini, Islam
akan menjatuhkan sanksi keras yaitu Diyat (tebusan darah) atau Qishas
(dibunuh). Sesuai dengan firman Allah SWT,
“Didalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa.” (Q.S.
Al-Baqarah:179).
Walhasil, semua penjagaan dalam Islam ini hanya akan
terealisasi dalam Khilafah. Dengan izin Allah, Khalifah akan menjadi perisai
yang akan melindungi seluruh manusia.