Oleh: Armelia,
S.Psi, MHM*
Sejak disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu, Undang-undang (UU)
Cipta Kerja masih terus memicu gelombang penolakan dan menuai kontroversi dari
berbagai pihak hingga hari ini (DetikNews 10/10/2020).
Banyak hal yang menimbulkan kontroversi, baik dari proses
awal pengesahan UU
ataupun
dampaknya yang sangat merugikan buruh. Namun demikian, tidak banyak pihak yang
menyoroti bagaimana dampak dari UU cipta kerja terhadap kaum muslim di negeri ini, terutama
dari sisi jaminan kehalalan.
Omnibus Law UU Cipta Kerja telah mengubah sistem
penerbitan sertifikat halal yang selama ini berjalan. Jika sebelumnya
sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini UU
Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) (rri.co.id, 14/10/2020).
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah juga mengatakan
bahwa UU Cipta Kerja memungkinkan produsen mendeklarasikan sendiri bahwa
produknya halal (antaranews, 14/10/2020)
UU Cipta Kerja yang setengah hati dalam menjamin
kehalalan produk yang diproduksi, benar-benar menunjukkan bahwa halal ataupun
haramnya produk yang di konsumsi oleh seorang muslim bukanlah sesuatu hal yang
penting bagi pemerintah ini.
Belum lagi kita lihat banyaknya perilaku produsen yang sengaja menggunakan produk haram
dalam dagangannya untuk meraih keuntungan yang besar. Hal tersebut semakin
menyulitkan konsumen untuk mendapatkan produk yang memang halal di dalam Islam.
Namun UU Cipta Kerja yang membuat proses sertifikasi
menjadi sangkat singkat yang sebelumnya 92 sampai 107 hari menjadi 21 hari
kerja, dan jika tidak selesai dalam 21 hari maka BPJPH berhak mengeluarkan sertifikasi halal tanpa
rekomendasi halal dari MUI serta kesempatan kepada UMKM untuk mendeklarasikan
kehalalan secara mandiri (antaranews, 14/10/2020).
Jaminan halal seolah – olah hanya berkaitan dengan
perizinan dalam Omnibus law. Padahal lebih jauh dari itu, masalah halal haram dalam Islam adalah sesuatu yang
berkaitan dengan kehidupan seorang muslim sebagai hamba yang berusaha tunduk
kepada aturan Sang Pencipta.
Dalam Alquran disebutkan. "Hai sekalian manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.(QS Albaqarah 168)"
Selain itu, di dalam hadis juga
dijelaskan “….demi jiwaku yang ada di tangan-Nya sungguh jika ada seseorang
yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima
amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil
menipu dan riba, maka neraka lebih layak untuknya"(HR.
At-Thabrani).
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis tersebut diatas, jelaslah
bagaimana makanan menjadi bagian penting dalam Islam sebab makanan akan
memengaruhi fisik dan perilaku manusia. Islam mengatur Muslim untuk memakan
makanan halal dan menghindari yang haram dan meragukan.
Jaminan halal yang sebenarnya hanya bisa didapatkan dari
sebuah negara yang menjadikan Islam sebagai landasan dari segala kebijakan yang
diambilnya, yaitu sebuah negara Islam. Negara ini akan mengedukasi rakyatnya
secara benar mengenai halal haram suatu produk dan menjadikan penggunaan barang
haram akan sulit didapatkan oleh para produsen ini. Bahkan jaminan halal itu diberikan tak hanya
pada soal makanan, tetapi hampir melingkupi seluruh aspek kehidupan.
Sejarah Islam mencatat bahwa aturan-aturan tegas diberlakukan
oleh negara untuk melindungi Muslim dari yang haram dan tidak tayib. Negara
menjamin bahwa barang-barang yang dijual di pasar hanyalah barang yang halal.
Jika ada barang yang haram, maka penjualnya akan dikenakan sanksi dan dilarang
untuk berjualan kembali sampai masa waktu tertentu yang ditentukan oleh negara.
Sanksi yang tegas bukan hanya diberlakukan untuk penjual,
bahkan untuk kasus minuman keras, segala kegiatan yang berkaitan dengan itu,
mulai dari menjual buah untuk dijadikan minuman keras, menerima atau
memberikannya sebagai hadiah, menjual serta mendistribusikannya akan menerima
sanksi dari negara.
Pemberlakuan sanksi, baik moral maupun fisik, juga terus
diterapkan pada masa Khalifah. Abu Bakar memberlakukan hukuman cambuk 40 kali
untuk mereka yang mabuk. Khalifah kedua, Umar bin Khattab, menyatakan minuman
keras dan segala sesuatu yang mengacaukan kesadaran akal adalah terlarang serta
memberlakukan hukuman cambuk 80 kali bagi para peminum. Hukuman cambuk dan
penolakan kesaksian orang yang mabuk terus berlaku hingga zaman Usman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib.
Dengan sanksi yang tegas oleh negara dan kesadaran setiap
warganya bahwa halal dan haram suatu produk adalah bentuk ketakwaan kepada Sang
Pencipta, maka produk yang beredar akan terjamin kehalalannya.
Oleh karena itu, mari kita berjuang bersama untuk menciptakan
masyarakat yang memiliki kesadaran Islam yang benar dan
menegakkan sebuah sistem Islam secara total dan menyeluruh dalam naungan negara
yang menjadikan Islam sebagai landasannya diseluruh aspek kehidupan.
Wallahu ‘alam bisshowab.
*Aktivis Muslimah,
Alumni University of New South Wales, Australia jurusan
Magister of Health Management