Oleh: Mita Nur Annisa
( Pemerhati Sosial )
Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang belum lama ini disahkan
masih menjadi kegelisahan serta perbincangan.
Terlebih dari isi UU tersebut sangat tidak pro kepada rakyat malah lebih
menunjukkan keuntungan bagi sebagian kalangan saja. Salah satu kebijakan yang menjadi perhatian khusus yakni
mengenai pengubahan penerbitan sertifikat halal, yang sebelumnya hanya dapat
dikeluarkan oleh Mejelis Ulama Indonesia (MUI) kini bisa diberikan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Hal ini dinilai sebagai kebijakan
yang sangat berbahaya.
Seperti yang dilansir oleh rri.co.idKBRN, Undang-Undang
(UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law mengubah sistem penerbitan sertifikat halal.
Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI), kini UU Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Terkait hal itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub
menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat
halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya.
“Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu
bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk
sertifikasi,” kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).
“Waktu sertifikasi tidak bisa pukul rata. Karena dalam
auditnya, bahan-bahan dari produk itu berbeda. Tentu, kalau bahan yang dipakai
ada sertifikasi halal lebih mudah. Tapi kalau tidak kita sarankan untuk
mengganti bahan baku,” tambahnya.
Diketahui, ada sejumlah perbedaan mengenai ketentuan
sertifikasi halal yang tertuang di UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal.
Pernyataan berbeda keluar dari Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin. Beliau menjelaskan bahwa pengembangan kawasan
industri halal (KIH) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai
cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar di dunia.
Bersamaan dengan persiapan KIH tersebut, lanjut Ma'ruf,
pemerintah saat ini tengah melakukan penguatan terhadap industri-industri kecil
atau usaha mikro dan kecil (UMK) yang bergerak dalam pembuatan produk-produk
halal.
Dalam pernyataan tersebut memperlihatkan bahayanya UU cipta
kerja dalam aspek kehalalan yang mana dapat dilakukan self-declare atau
dikeluarkan tanpa menunggu fatwa dari MUI. Jelas bukan,
betapa rusaknya sistem kapitalis dengan mempermudah investasi sehingga
mengorbankan standar halal dalam syariat. Sehingga memberi efek besar untuk
masyarakat dalam memilah kehalalan produk yang akan dikonsumsi.
Peran negara yang harusnya
menjamin akan segala hal dalam kebutuhan masyarakatnya secara baik dan
sesuai dengan standar syariat yang mengutamakan kehalalan.
Nyatanya beginilah watak asli dari sistem demokrasi, yang
tak ada kemaslahatan bagi rakyat, sistemnya hanya sebagai pelengkap untuk
memudahkan apa yang diharapkannya berjalan dengan mudah sesuai kemauan dan
kebutuhannya
sendiri.
Sedangkan Islam mengambil segalanya sesuai syariat dan
kemaslahatan bagi publik. Islam telah memerintahkan makan
makanan halal lagi thayyib dan tidak berlebihan. Islam tidak mengajarkan budaya
hedonis dan konsumtif terhadap makanan.
“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu
sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya.” (QS Al Maidah: 88)
syariat agama diturunkan untuk kemaslahatan ummat
(al-maslahah al-ammah). Dengan demikian, syariat Islam harus
menjamin kemaslahatan ini.
Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H) menguatkan pendapatnya ini
dengan menyatakan:
“Anna wudli’asy syar’i’a
innam li mashlihil ‘ibdi fil ‘ajil wal ajil (Syariat adalah kemaslahatan
hamba (manusia) baik di dunia maupun di akhirat).
Senada dengan kalimat Al-Syatibi, Ibn Qayyim Al-Jauziyah,
murid dari Ibn Taimiyah, juga mendedahkan:
“Al-syari’atu
mabnaha wa asasuha ‘alal hikam wa mashalihil ‘ibadi fil ma’asyi wal ma’adi wa
hiya ‘adlun kulluha wa rahmatun kulluha wa masahlihun kulluha wa hikmatun
kulluha. Fa kullu mas’alatin kharajat ‘anil ‘adli ilal jwr wa ‘anir rahmati ila
dliddiha wa ‘anil mashlahati ilal mafsadati wa ‘anil hikmati ilal ‘abtsi fa
laysat minasy syar’ati” [bangunan dan fondasi hukum Islam didasarkan pada
kebijaksanaan (kearifan) dan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat seluruhnya adil, kasih sayang, maslahat, dan
bijaksana. Oleh karena itu, setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju ke
kecurangan, dari kasih-sayang menuju sebaliknya, dari maslahat menuju ke
kerusakan, dan dari kebijakan menuju ke kesewenang-wenangan, maka bukanlah
syari’at)”.
Karenanya
halal dan haram bukan hanya perkara sebuah label melainkan juga menjadi bagian
dari pada kewajiban sebagai tanda ketaatan terhadap Allah ta'ala. Sebab segala
yang halal dan haram mendatangkan kemaslahatan dan kemudaratan bagi diri. Jadi standar menyeluruh
halal-haram ialah sesuai dengan syariat Islam,
Yang dibutuhkan umat muslim.
Alhasil
menyerahkan sertifikat halal pada kelompok yang bukan ahlinya merupakan sebuah
kerusakan dan kehancuran.
Wallahu’alam
bishawwab.