Omnibus Law Kebijakan yang Tidak Bijak




Oleh: Fitri Andriani, S.S.


Entah gelar apa yang pantas disematkan untuk wakil rakyat di DPR. Mengulang keberhasilan memutuskan dan mengumumkan keputusannya dengan cara senyap, tengah malam. Begitu pula dengan pengesahan UU Cipta Kerja di tanggal 5/10/2020 dilakukan diam-diam. Harusnya sidang paripurna pengesahannya masih tanggal 8/10/2020, namun ada desakan dari pihak-pihak tertentu untuk disahkan segera.

Setelah UU Cipta Kerja (Omnibus Law) disahkan mendadak segera menuai penolakan dari segenap lapisan rakyat. Bahkan dari beberapa fraksi di DPR, dari PKS dan partai Demokrat menolak menyetujui UU Cipta Kerja ini. 


DPR telah mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja yang di dalamnya mengubah sejumlah ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan (CNN: Rabu, 7/10/2020) yang hingga kini menuai gelombang penolakan. Demo tidak terbendung dari buruh dan mahasiswa yang diawali di depan gedung DPR RI. Namun tidak ada tanggapan dari pencetus kebijakan. Alih-alih ditanggapi, malah presiden pergi ke Kalimantan dalam kondisi rakyat kisruh akibat kebijakannya. Akhirnya bentrok pedemo dan aparat keamanan terjadi. Korban pun berjatuhan. 

Apa saja kebijakan UU Cipta Kerja yang mengubah UU Ketenagakerjaan yang menuai polemik tersebut? 
Pasalnya, ketentuan dalam klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja dianggap banyak menggerus hak-hak buruh dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebelumnya. UU Cipta Kerja lebih menguntungkan pihak pengusaha dan oligarki. Buruh yang selama ini belum mendapatkan hak yang baik, dengan adanya UU Cipta Kerja ini semakin ditekan kesejahteraannya. 

Kehawatiran akan banyaknya kedzoliman jika diterapkan kebijakan  UU Cipta Kerja ini sangat kuat. Begitu mudahnya para pengusaha menghargai keringat buruh dengan nilai rendah. Gelombang PHK besar-besaran juga akan mudah dijalankan pengusaha tanpa ada pesangon sedikitpun. Lalu ijin cuti melahirkan dan sakit, tidak akan mendapatkan kompensasi lagi. Perusahaan yang awalnya harus membuat surat tertulis ketika memperkerjakan TKA, dengan UU Ciptaker, hanya diwajibkan memiliki rencana pemakaian TKA.

Inilah sisi jahat dari sekulerisme berbalut manisnya janji-janji demokrasi dengan slogan pepesan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Nyatanya, rakyat hanya dijadikan korban dalam segala kebijakan. Siapa yang untung? Jelas para pengusaha dan kaum oligarki yang mudah menggelontorkan uang pada penguasa dan main lobi-lobi.

Sistem upah juga makin diminimkan, padahal inflasi telah melambungkan harga kebutuhan hidup masyarakat. Seakan demgan menekan gaji menjadi makin kecil, masyarakat hanya diperas tenaganya buat membajak sawah lalu cukup diberi makan rumput. Ini sangat dzolim dan tidak adil. Pengusaha mendapat untung, rakyat tetap miskin. Dengan adanya Omnibus Law disahkan, kemiskinan terstruktur diciptakan.


Bagaimana Islam Melindungi Para Pekerja?

Islam juga sudah mengatur kesejahteraan para pekerja dengan mengakui adanya pengupahan sesuai aqad kerja dengan tidak melupakan kesejahteraan pekerja. Dasar upah disesuaikan dengan waktu kerja, namun juga tidak melupakan kebutuhan pokok pekerja sesai wilayah di mana pekerja tersebut tinggal. Misalnya pertimbangan upah dengan kebutuhan tempat tinggal, makan, pakaian, sesuai standar di temoat tersebut. Pekerja bisa digaji per aqad suatu pekerjaan hingga selesai. Ataukah aqad kerja yang mengikat sehingga bekerja dihitung dengan gaji per bulan atau per kehadiran kerja (per jam). Semua aqad harus jelas dalam pandangan Islam.

Pemerintah juga menjamin keberlangsungan usaha bagi para pengusaha untuk tidak membebani mereka dengan jaminan soaial,  asuransi kesehatan dan Jaminan Hari Tua (uang pensiun).

Buruh maupun pengusaha dalam sistem Islam tidak perlu terbebani biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanan karena semua ditanggung negara yakni Khilafah. Bahkan tidak ada pajak mencekik.

Islam menjamin kebutuhan pokok warganya per kepala, kesehatan dan pendidikan gratis bagi rakyat. Semua dilakukan semata-mata menunaikan amanah sebagai pengurus rakyat, agar rakyat sejahtera. Semua dilakukan atas dasar keimanan pada Allah. Aturan dalam Islam sudah lengkap dan sempurna mencakup hubungan manusia dengan sesamanya, manusia dengan lingkungannya, dan manusia dengan Tuhannya. Sedang sistem buatan manusia hanya merusak manusia, lingkungan dan kerusakan keimanan tanpa henti. Lalu apa yang membuat kita masih tidak mau kembali pada hukum Allah?

Allahu A'lam Bi Ash-Shawab.


Ilustrasi kainajaib

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak