Oleh: Elis Ummu Izma
Menyitir pernyataan analis Amerika Serikat dari lembaga non-profit Carnegie Endowment, Sana Jaffrey menilai Indonesia melakukan blunder dalam penangan pandemi virus Covid-19. Allah SWT telah mengutus partikel kecil bernama Covid-19 untuk menyingkap kegagalan rezim dalam mengurus kesehatan. Kredo kapitalisme yang dianut saat ini menjadikan negara berlepas diri sebagai penanggung jawab penuh urusan rakyat.
Ajang pilkada yang akan digelar 9 Desember 2020 terkesan dipaksakan dan menimbulkan keresahan umat. Pasalnya, hal tersebut disinyalir memicu ledakan penyebaran kasus positif Covid-19.
Director Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto mengatakan puluhan juta orang berpotensi terpapar Covid-19 jika pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 tetap diselenggarakan.
Hal itu dia ungkapkan diacara diskusi virtual bertajuk "Politik Uang dalam Pilkada di Masa Pandemi" yang diselenggarakan oleh LP3ES, 16,/9/2020. law-justice.co.
Setidaknya terdapat dua alasan yang dimunculkan pemerintah dan DPR saat memutuskan tetap digelarnya pemilihan kepala daerah tersebut. Yaitu, pertama, tidak mau 270 daerah Indonesia serentak dipimpin oleh pelaksana tugas. Kedua, jika ditunda karena Covid-19, tidak ada yang tahu sampai kapan Covid-19 berhenti dan tidak berbahaya lagi.
Menanggapi hal di atas, sejumlah pihak menyayangkan keputusan itu. Menurut Dirut Indo Barometer Mohammad Qodari, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Jika 305.000 titik TPS memakai target partisipasi 77,5% oleh KPU adalah 106 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) x 77,5% = 82,15 juta orang. Jika positivity rate kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 19%, maka potensi orang terinfeksi dan menjadi agen penularan Covid-19 pada hari "H" mencapai 82,15 juta orang x 19% = 15,6 juta orang. Ada dua titik bahaya Covid-19 dalam tahapan pilkada 2020. Pertama masa kampanye selama 71 hari sejak 26 September hingga 5 Desember, dan kedua, pada hari pencoblosan.
Selain itu, ditemukannya banyak kecurangan dimana belum mulai waktu kampanye, sudah banyak pihak yang mencuri start dengan mengerahkan massa guna parade. Pemerintah terkesan abai dan tak peduli, hanya sibuk dengan kekuasaan.
Sudah menjadi watak demokrasi sebagai negara matrealistik. Bekerja memaksakan kehendak meski pandemi mengintai. Mereka menutupi boroknya demokrasi tanpa mempertimbangkan keselamatan nyawa rakyat. Jargon dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat hanya menjadi pemanis buatan padahal itu adalah racun.
Pilkada seharusnya menjadi upaya menyelamatkan nasib rakyat, namun telah bergeser kearah politik kepentingan. Bila dirunut, pangkal masalah terletak pada kapasitas sistem politik dan pemerintahan demokrasi yang disetel sesuai kepentingan politik kapitalisme. Suara rakyat sangat mereka harapkan agar aman duduk di kursi empuk kekuasaan.
Berharap rakyat sejahtera di demokrasi, ternyata hisapan jempol yang tak pernah terbukti. Akhirnya publik semakin yakin untuk mencampakkan sistem dan rezim yang berkuasa saat ini dengan sistem yang luar biasa perhatiannya terhadap nyawa manusia.
Maka, solusi yang mampu menyelamatkan umat hanyalah sistem Islam. Mampu memberikan solusi secara utuh dan menyeluruh tanpa mengundang munculnya masalah baru.
Sistem yang diwariskan Nabi dan para sahabat ini sudah teruji serta terbukti mampu mewujudkan keadilan yang belum pernah ada bandingannya. Yaitu, penerapan Islam kaffah dalam naungan Khilafah.
Wallahu'alam bissowab
Tags
Opini