Oleh Dini Koswarini
Perguruan tinggi menjadi wadah untuk mencetak para intelektual. Di mana mahasiswa dididik menjadi poros berkembangnya pengetahuan dan kemajuan bangsa. Berbagai upaya telah dilakukan demi meningkatkan kualitas perguruan tinggi.
Menteri Pendidikan Nadiem Makarim telah meluncurkan program baru yakni “Kampus Merdeka”, setelah sebelumnya meluncurkan program “Merdeka Belajar”.
Sejalan dengan itu dikutip dari maupa.co, Syamsu Alam, selaku tenaga pengajar memberikan pesan bagi mahasiswa yang nantinya mengalami kebijakan menteri pendidikan yang baru yang dikenal dengan istilah kampus merdeka ada 3 hal. Salah satunya mahasiswa harus merdeka dari rasa takut. Takut bertanya, takut belajar apa saja, takut mengeluarkan gagasan apa saja itu harus dihilangkan. Dan merdeka dari rasa takut tidak lulus. (Maupa.co, 25/2/2020)
Namun saat ini, apakah merdeka belajar yang diterapkan sudah sesuai dengan maknanya? Berdasarkan KBBI makna merdeka ialah bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu dan leluasa.
Kemerdekaan dalam bahasa Arab disebut al-istiqla, ditafsirkan sebagai “al-Taharrur wa al—Khalash min ayy Qaydin wa Syatharah Ajnabiyyah” (bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain), atau “al-Qudrah ‘ala al-Tanfidz ma’a in’dam Kulli Qasr wa ‘Unf min al-Kharij” (kemampuan mengaktualisasikan diri tanpa adanya segala bentuk pemaksaan dan kekerasan dari luar dirinya).
Nyatanya, baru-baru ini Kemendikbud mengeluarkan kebijakan yang tidak sejalan dengan makna merdeka yang sebenarnya. Hal itu tebukti, dengan kondisi mahasiswa di lapangan yang mengeluarkan gagasannya dengan melakukan aksi penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) 'dihadang' oleh surat edaran resmi yang mengimbau agar mahasiswa tidak ikut demonstrasi.
Tertuang dalam surat edaran Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Nomor 1035/E/KM/2020 perihal 'Imbauan Pembelajaran secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja'. Surat ini diteken oleh Dirjen Dikti Kemendikbud Nizam pada Jumat (9/10).
Surat itu ditujukan kepada pimpinan perguruan tinggi serta ditembuskan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Dirjen Pendidikan Vokasi Kemdikbud Wikan Sakarinto, dan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah I-XVI. (Newsdetik, 10/10/2020)
Selain itu, Kemendikbud juga meminta pimpinan Perguruan Tinggi untuk melanjutkan pembelajaran jarak jauh. Bahkan memastikan para mahasiswanya benar-benar belajar di rumah masing-masing. (Pikiran Rakyat, 11/10/2020)
Memaknai kemerdekaan bagi para mahasiswa dengan tanggung jawab intelektual, moral, dan sosial menjadi sangat sempit jika dimaknai hanya belajar di rumah saja. Jangan sampai pergerakan mahasiswa dikungkung dalam tembok akademik. Hal ini sama saja dengan memandulkan potensi mahasiswa sebagai pemuda yang memiliki peran agent of change.
Padahal potensi pemuda seharusnya diarahkan untuk kemerdekaan yang hakiki. Sebab pemuda memiliki energi dan semangat untuk menyambut gagasan-gagasan baru. Lantaran itu, tidak aneh apabila kaum muda yang pertama-tama meyakini Islam dan menjadi ujung tombak gerakan dakwah di Makkah.
Islam memandang pemuda bukan sebagai makhluk setengah dewasa yang labil atau gemar membuang waktu atau hanya bergelut di dalam ruang diantara kokohnya tembok, sebaliknya Islam menaruh harapan besar kepada para pemuda untuk menjadi pelopor.
Para pemuda Muslim generasi awal berkiprah dalam spektrum luas. Sehingga saat ini pun, para pemuda harus mempersiapkan diri dan berpacu dengan waktu guna menghadapi serangan Ghazwul Fikri dengan perang pemikiran sekuler, pluralis dan liberalisme agama.
Sebab pada hakikatnya pun fitrah manusia membutuhkan sang pencipta, yakni Allah SWT. Potensi pemuda semestinya diarahkan untuk mewujudkan sistem Islam. Islam dan sistemnya yakni khilafah mengarahkan potensi para pemuda sesuai fitrah penciptaan yakni untuk mengabdi pada Sang Khaliq dan memberi manfaat bagi umat.
Tags
Opini