Oleh : Mira Delvianti, S.Pd.I
Menulis tidak selamanya karena hobi, tapi jalan melatih diri untuk melejitkan segala potensi. Apalagi dengan menulis jadi gerbang kebaikan bagi siapa saja, pembaca maupun bagi penulis itu sendiri. Ini dahsyat luar biasa.
Bagi penulis, walau tulisan yang tercipta level biasa, tapi siapa sangka tulisan yang sederhana mampu jadi wasilah insan yang lain menemukan jati diri untuk menggenggam hidayah, pastinya jadi peluang amalan jariyah tak diduga.
Yang lebih unik dan menakjubkan lagi dengan menulis, mengasah kembali pisau-pisau ilmu yang sudah tumpul dari ingatan dan bikin otak dan fikiran kembali encer karena selama ini beku. Artinya dengan aktif menulis, menoreh tinta merajut karya seperti jalan yang dilalui para ulama, maka akan mengembalikan ilmu-ilmu yang terlepas.
Bisa dibayangkan, ketika merangkai kata untuk tema sejarah, maka kita akan mengulik kembali fakta-fakta yang tertuang dalam buku shiroh. Menulis tema mengenai Islam, syari'ah dan kemuliaannya, maka kita kembali menela'ah kitab-kitab karangan para ulama. Menulis tema terkait fiqih, maka belajar kembali tentang kaidah ilmu ushul fiqih. Menulis tema keremajaan, maka mengasah otak mencari kata yang kekinian. Menulis tema terkait keluarga dan rumah tangga, maka akan mencari cara agar pembahasan tema tergambarkan jalan meraih sakinah, mawaddah wa rahmah. Mengangkat tema tentang parenting, membuat penulis berfikir tujuh keliling supaya ilmu yang disampaikan dalam tulisan mampu menghantarkan pembaca membentuk generasi good looking. Melukis tema terkait bisnis, maka berpikir habis agar tulisan tidak dilirik sinis.
Inilah jalan ilmu yang terbentuk dengan menulis, semakin dipelajari, dipahami dan dikuliti, semakin menunjukkan akan kekurangan diri. Menuntut kita harus ekstra belajar lagi agar Ilmu dan tsaqafah kembali bersinar dan berseri.
Tak kalah pentingnya, teknis kepenulisanpun akan mengajak seorang penulis mundur sejenak ke belakang, mengingat kembali pelajaran bahasa Indonesia semasa dalam tahap pendidikan, ada pembahasan materi terkait ejaan yang disempurnakan yang nantinya harus dipakai dalam sebuah karya tulisan.
Luar biasa bukan!
Maka dari itu, menulislah untuk mengikat Ilmu, mengasah diri melejitkan potensi, mengencer otak dan fikiran agar terus tajam menimbang persoalan. Bukankah para ulama terdahulu seorang ilmuwan sebab kepenatan menulis? Di sela kesibukan menulis karya yang serius, mereka rehat dengan menulis karya lain yang lebih ringan dan menghibur. Tak ada kesempatan untuk berleha-leha menghabiskan waktu dengan sia-sia.
Di antara mereka ada Imam Malik dengan karya fenomenalnya Al Muwattha', Imam Syafi'i dengan kitab al-Umm, Imam Ahmad dengan Musnad-nya, hingga Buya Hamka dengan tafsir Al Azharnya. Ibnu Sina dengan karya al-Qānūn fī aṭ-Ṭibb, Ibnu al-Haytham dengan karyanya yang terkenal adalah Kitab al-Manazir (Book of Optics). Jabir Ibn Hayyan dengan Kitab Al-Kimya, Kitab Al-Sab’een, Kitab Al-Rahmah, Al Khawarizmi dengan konsep aljabar dan algoritmanya. Ibnu Khaldun dengan karya Muqaddimahnya, dan banyak ulama lainnya dengan karya tersendiri yang fenomenal dan mendunia serta dikenang sepanjang sejarah walau jasat telah tiada. Masyaa Allah.
Maka dari itu jangan mudah menyerah dalam menulis, karena menulis adalah untuk mengasah dan menjaga ilmu yang telah dimiliki. Karena ulama terdahulu rindu generasi masa kini yang mampu menyambung estapet perjuangan mereka dulu. Karena mereka dulunya setiap saat selalu menyibukkan diri mereka dengan ilmu. Apalagi kita sebagai umat muslim dalam menata kehidupan butuh berbagai ilmu agar kehidupan menjadi terarah dan membawa berkah hingga ke akhirat sana.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab