Oleh : Faizul Firdaus, S.Si (pengamat kebijakan publik)
Undang-undang Omnibus Law yang baru saja disahkan oleh DPR kembali mengalami sorotan. Diantara sorotan terhadap undang-undang tersebut adalah terkait dengan sertifikasi produk halal yang digunakan di masyarakat. Undang-Undang Omnibus Law ini akan membawa perubahan haluan terkait penetapan produk halal.
Sebelumnya, Indonesia telah memiliki UU Jaminan Produk Halal nomor 33 tahun 2014. Dan hal yang sama kemudian diatur lagi di dalam Undang-undang Omnibus law tepatnya di pasal 35 A ayat 2. Dari pasal tersebut berdampak mengubah regulasi penerbitan sertifikasi halal. Aturan pada Undang-Undang tersebut memberikan alternatif sertifikasi halal kepada Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) apabila Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak dapat memenuhi dalam batas waktu yang ditetapkan. (republika.co.id, 12/10/2020).
Belum lagi berkaitan tentang pengertian sertifikasi halal. Dalam Undang-Undang Omnibus Law didefinisikan "Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal,". Belum lagi UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut pasal 29 menyatakan, Jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal paling lama satu hari kerja. Permohonan sertifikat halal dilengkapi data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk. Permohonan Sertifikat Halal diajukan pengusaha kepada BPJPH. Tampak di dalam Undang-Undang Omnibus Law ini tidak lagi menyertakan dan bertumpu pada MUI dalam penetapan produk halal.
Aroma kapitalisme
Perubahan pola penetapan sertifikat halal yang tidak lagi melibatkan MUI sebagai pihak sentral yang selama ini menjadi wakil dari otoritas kaum muslimin, memperlihatkan adanya aroma kapitalis yang sangat kental. Sangat tampak bahwa orientasi Undang-Undang Omnibus Law tersebut adalah kemudahan investasi. Tentu sangat disayangkan orientasi tersebut mengabaikan aspek halal-haram yang bagi kaum muslimin hal tersebut adalah perkara prinsip.
Bagi seorang muslim, memakai produk halal adalah kewajiban. Karena hal tersebut Allah perintahkan langsung di dalam Al-Qur’an. Tidak dipungkiri kaum muslimin di Indonesia adalah target pasar yang sangat besar, 80% lebih penduduk Indonesia adalah muslim. Para produsen produk produk industri berlomba-lomba untuk dapat menggaet pasar besar tersebut. Dan sertifikasi halal adalah kemestian yang harus mereka tempuh.
Sebenarnya kesadaran untuk menyediakan produk halal adalah hal yang patut diapresiasi. Akan tetapi kejanggalan justru tampak dari Undang-Undang Omnibus Law tersebut diantaranya aspek waktu penetapan yang sempit, dan siapa pihak yang menjadi auditor kehalalan.
Pengkajian kehalalan produk tidaklah rasional apabila hanya diberikan waktu 1 hari kerja. Penetapan sertifikat halal haruslah dikaji secara mendalam. Mulai dari bahan, proses, hingga packaging oleh pihak yang bisa memahami dan mencermati fakta dan mengerti betul terhadap fiqh maupun ushul fiqh. Dalam hal ini MUI adalah pihak yang bisa mewakili kaum muslimin. Akan tetapi dalam ketetapan yang bari di UU Omnibus Law peran MUI tidak lagi sentral. Peran tersebut digantikan oleh organ bentukan pemerintah yang di sebut Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Tentu seperti yang sudah kerap kali terjadi. Organ-organ apapun buatan penyelenggara negara sering kali terjebak pada politik kepentingan. Sebagaimana watak sistem politik demokrasi yang diakui atau tidak, pemegang kendali yang sejati adalah pengusaha yang ikut berivestasi di dalam suksesi kepemimpinan politik.
Belum lagi kesempatan MUI sebagai lembaga independen dan lembaga yang saat ini bisa mewakili perkara perkara mendalam dalam Islam seperti penentuan Halal-haram yang hanya diberi waktu 1 hari kerja untuk menetapkan dan menerbitkan sertifikat kehalalan suatu produk. Tak ayal bila disebut Undang-undang Omnibus Law membuat masa depan peredaran produk halal semakin ambyar.
Hak masyarakat untuk mendapatkan produk halal harusnya bisa menjadi komitmen penyelenggara negara. Edukasi yang terus di tengah-tengah masyarakat akan wajibnya masyarakat muslim untuk hanya mengkonsumsi produk halal, harusnya menjadi tugas pemerintah. Selain itu juga untuk memudahkan terbitnya sertifikat halal tanpa mengubah otoritas pihak yang mengerti benar terkait halal haram sebagai audito kehalalannya. Kedepan berharap masyarakat sadar betapa undang undang buatan manusia pasti syarak dengan politik kepentingan seperti Undang-undang Omnbus Law ini.
Wallahua’lam bisshowab