(Oleh : Ummu Amira Aulia Amnan, Sp)
Salah satu pasal yang direvisi di UU Ciptaker adalah Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak.
Pasal 88 UU PPLH berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya (detik.com).
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa penghapusan pasal ini berdampak pada hilangnya tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan (detik.com).
Pasal ini dinilai memberikan angin segar kepada perusak dan pembakar hutan. Perusahaan akan dengan mudah mengantongi hasil hutan, tanpa perlu terjerat berbagai jerat hukum seperti sebelumnya.
*Syariat Islam dan Masalah Tanah*
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi –termasuk tanah– hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT (artinya),”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24] : 42). Allah SWT juga berfirman (artinya),”Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57] : 2). (Media Umat).
Filosofi kepemilikan tanah dalam Islam ada 2, yaitu, pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah.
Ketika dikatakan bahwa Allah SWT memberikan kekuasaan pengelolaan tanah terhadap manusia, bukan berarti manusia bisa bebas seenaknya untuk menguasai tanah. Tetap ada mekanisme pengaturannya lagi.
Dalam Syariah Islam ada 2 (dua) macam tanah yaitu : (1) tanah usyriah (al-ardhu al-‘usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).
Tanah Usyriah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah Munawwarah dan Indonesia. Tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 248).(Media Umat).
Sehingga jelas sangat berbeda dengan posisi tanah yang diatur kapitalisme. Perusahaan asing atau swasta seenaknya saja menguasai tanah milik rakyat. Sudah pasti, dampak lingkungan pun akan mengalami masalah.
Tanah yang memiliki kandungan barang tambang berlimpah, akan dikuasai oleh daulah Islam (negara). Untuk digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Nabi SAW suatu saat pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka Nabi SAW menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal. (HR Tirmidzi). Ini menunjukkan tanah dengan tambang yang besar kapasitas produksinya, menjadi milik umum yang dikelola negara, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu (swasta). (Al-Nabhani, ibid. hal. 220).
Demikian pengaturan pertanahan dari mulai hulu sampai hilir. Tidak akan terjadi kerusakan lingkungan oleh perusahaan swasta, karena yang mengandung hajat hidup orang banyak, akan dikelola oleh negara.
Demikianlah syariat yang sempurna ini, telah memberikan aturan. Aturan yang memberikan kesejahteraan penuh terhadap rakyatnya. Sudah saatnya kita kembali pada aturan Islam, yang datang dari Khalik yang Maha Agung. Wallahu a'lam bisshowab.
(Tulungagung, 26 Oktober 2020).