OLEH: Rizka_fariza
Dalam sistem demokrasi tidak hentih-hentinya memberikan
harapan yang bersifat hayalan, yang banyak memakan korban salah satunya yakni
kaum perempuan dalam bidang kesetara upah. Saat ini tenaga kerja perempuan
masih dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan
upah sebesar 16 persen.
Sedangkan di Indonesia sendiri, data
menunjukkan perempuan memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan
laki-laki. Pendidikan
yang lebih tinggi tidak mempersempit kesenjangan upah berdasarkan gender.
Bahkan pekerja perempuan dengan tingkat pendidikan sarjana mendapatkan upah
yang cukup rendah dibandingkan laki-laki. Data yang sama juga menyatakan bahwa
perempuan yang sudah memiliki anak, angka selisih gajinya jauh lebih besar
dengan laki-laki. Tentu saja perbedaan upah tersebut berdampak buruk bagi
ekonomi perempuan. Terutama pada masa-masa sulit di tengah pandemi COVID-19
seperti sekarang ini.
Selain itu, posisi perempuan di dunia kerja juga masih
kurang kuat. Hingga saat ini kebanyakan perempuan masih banyak berada di pekerjaan informal. Sehingga ketika
ada pandemi seperti sekarang ini, tak sedikit pekerja perempuan yang harus
hidup tanpa memiliki asuransi kesehatan dan perlindungan sosial. Tak hanya itu,
pekerjaan mereka pun juga banyak mengalami hambatan, karena ada banyak
perempuan yang bekerja di industri yang terdampak COVID-19, mulai industri
akomodasi, hingga penjualan dan manufaktur.
Menteri Ketenagakerjaan Republik
Indonesia, Ida Fauziyah, menegaskan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi
ILO No. 100 tentang Kesetaraan Upah pada 1958, lebih dari 60 tahun lalu.
PentIngnya kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan
bernilai sama tidak mengalami perubahan.
Ida menyatakan, dengan
mempertimbangkan kesenjangan gender di pasar kerja saat ini, kementerian
bersama dengan semua mitra sosial dan organisasi internasional, terus mendorong
aksi bersama menentang diskriminasi berbasis gender di tempat kerja. "Ini
saatnya bagi perempuan dan laki-laki untuk dihargai secara setara berdasarkan
bakat, hasil kerja dan kompetensi, dan bukan berdasarkan gender,” ujar Menteri
Ida.
Apa
menuntut kesetaran upah bisa menjadi angina surga bagi kesejahtraan bagi kaum
perempuan? Namun sederet fakta yang terapar diatas menunjukan baghwa sampai
saat ini penuntutan terhadap kesetaraan upah demi kesejahtaan bagi kaum
perempuan hanya sebuah ilusi dalam sistem demokrai kapitalis, alih-alih
meberika menjamin kesejahtraan dengan kesetaraan upah. Demokrasi kapitalis
justru menjadikan perempuan sebagai alat
ekspolitas yang akan memberikan dampak pada ketidak terpeliharanya kehormatan
kaum perempuan. Hal ini telah jelas disampaikan Allah Ta’ala kepada kita :
Dan barangsiapa berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit … (TQS. Thaha
[20]:124)
Imam Ibn Katsir menjelaskan
maknanya: ”Siapa yang menyalahi ketentuan-Ku, dan apa yang Aku turunkan kepada
rasul-Ku, berpaling darinya dan berpura-pura melupakannya serta mengambil dari
yang lain sebagai pentunjuknya, maka baginya kehidupan yang sempit yakni di
dunia.” (Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm).
Demokrasi kapitalis yang berasas
sekulerisme akan menjauhkan kaum perempuan dari fitrahnya sebagi madrasah
pertama bagi putera-puterinya, berbeda halnya dengan islam telah menetapkan
hukum-hukum syara’ dengan sangat rinci dan detil. Islam memiliki aturan yang
komperehensif yang menjamin keadilan bagi siapapun termasuk perempuan. Hanya
sistem Islam yang memberi solusi atas setiap persoalan kehidupan yang berangkat
dari pandangan yang universal mengenai perempuan.
Dengan hukum-hukum syara’ dalam
sistem islam inilah, semua persoalan perempuan akan diselesaikan secara tuntas
dan adil. Kemuliaan perempuan juga akan terjaga. Dalam sistem Islam, bekerja
bagi seorang perempuan betul-betul hanya sekadar sebuah pilihan, bukan tuntutan
keadaan. Dibandingkan dengan kondisi dalam sistem kapitalis sekuler sekarang
perempuan banyak dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah dan tidak layak
karena tidak punya pilihan yang lain. Ekonomi Islam bukan hanya menyamakan,
tetapi lebih menghormati tenaga kerja perempuan. Alternatif yang bisa dilakukan
adalah perempuan bekerja di rumah, atau bisa juga di luar rumah sebagai
ilmuwan, dokter, perawat, guru, pegawai-pegawai dalam kantor pemerintahan,
pekerja industri, dan sebagainya. Namun, tempat bekerja dan sarana transportasi
ke tempat kerja tidak berdesak-desakan dan bercampur-baur dengan laki-laki.
Dengan demikian tidak akan pernah terjadi kasus pelecehan kehormatan perempuan.
Inilah sistem yang akan menjamin kesejahtraan bagi perempuan.
Maka, solusi mendasar dari semua
persoalan yang kita hadapi sekarang yang menyebabkan keterpurukan ini hanyalah
dengan mencampakkan sistem yang rusak dan kembali kepada sistem yang mampu
memberi jaminan penyelesaian secara tuntas dan adil, yakni sistem yang berasal
dari Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Adil, tidak lain adalah sistem Islam.
Sistem Islam telah terbukti selama berabad-abad membawa umat ini pada kemuliaan
dan martabatnya yang hakiki sebagai khayru ummah.
Wallahu
a’lam bishshawaab…...