Oleh : Hasriani (Mahasiswi Universitas Halo Oleo)
Saat ini tenaga kerja perempuan masih dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh International Labour Organization (ILO) dan UN Women, perempuan memperoleh 77 sen dari setiap satu dolar yang diperoleh laki-laki untuk pekerjaan yang bernilai sama. Angka ini sudah dihitung dengan kesenjangan yang bahkan lebih besar bagi perempuan yang memiliki anak.
Kesenjangan upah ini memberikan dampak negatif bagi perempuan dan keluarganya apalagi selama pandemi Covid-19. Dari laporan pemantauan ILO yang dikutip, Senin (21/9/2020), tentang Covid-19 dan dunia kerja, Edisi ke-5, yang menemukan banyak pekerja perempuan mendapatkan dampak berbeda selama pandemi.
Menimpali diskriminasi yang dilakukan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah, menegaskan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan Upah pada 1958, lebih dari 60 tahun lalu. Pentingnya kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan bernilai sama tidak mengalami perubahan.
Ida menyatakan, dengan mempertimbangkan kesenjangan gender di pasar kerja saat ini, kementerian bersama dengan semua mitra sosial dan organisasi internasional, terus mendorong aksi bersama menentang diskriminasi berbasis gender di tempat kerja.
"Ini saatnya bagi perempuan dan laki-laki untuk dihargai secara setara berdasarkan bakat, hasil kerja dan kompetensi, dan bukan berdasarkan gender,” ujar Menteri Ida.
Untuk menandai upaya berkelanjutan untuk mencapai kesetaraan upah untuk pekerjaan yang bernilai sama, diadakan peringatan perdana Hari Kesetaraan Upah Internasional, tepatnya tanggal 18 September 2020 lalu. Peringatan ini menandai komitmen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap hak asasi manusia dan menentang segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak.
Oleh sebab itu, di tengah pandemi, peringatan pertama Hari Kesetaraan Upah Internasional menjadi kesempatan bagi semua aktor pasar kerja untuk mengambil langkah-langkah penting memastikan kesetaraan upah sebagai bagian dari upaya respons dan pemulihan Covid-19. Diharapkan, hal ini bisa mengatasi masalah kaum perempuan dan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.
Inilah fakta, bahwa kesenjangan upah diselesaikan dengan seremoni peringatan Hari kesetaraan upah. Basa-basi khas sistem sekuler mengatasi masalah kaum perempuan. Bukankah, ini merupakan angan –angan semata ?
Para pegiat gender meyakini, bahwa upah setara adalah bagian dari upaya untuk menyejahterakan serta mewujudkan kesetaraan perempuan. Namun, sesungguhnya itu hanyalah narasi menyesatkan. Kesejahteraan perempuan niscaya tidak akan terwujud hanya karena upah setara.
Fakta membeberka jika berbagai masalah kesejahteraan muncul karena penerapan sistem Kapitalisme itu sendiri yang tidak mampu menyejahterakan manusia, termasuk perempuan.
Sekalipun sistem ini memberikan perhatian bagi kaum perempuan, akan terwujud dengan cara mengeksploitasi. Yakni, mendorong perempuan bekerja tanpa khawatir terhadap kesenjangan upahnya. Juga dengan menghilangkan hambatan (peran domestik) agar terjun kesemua jenis pekerjaan tanpa mengkhawatirkan jaminan kesejahteraan.
Ya, ide kesetaraan dalam sistem Kapitalisme adalah ilusi serta sarat eksploitasi. Contohnya, dalam industri media elektronik, tubuh perempuan dan kemolekannya dijadikan sebagai sarana untuk memikat. Belum lagi kasus pekerja pabrik dengan jam kerja yang menguras tenaga mereka. Atau Tenaga Kerja Perempuan (TKW) juga tak jarang berakhir pada prostitusi serta tindakan kekerasan yang tidak dapat dipisahkan dari perbudakan.
Inilah sistem Kapitalisme, memandang perempuan sebagai sarana yang dapat dieksploitasi demi kepentingan bisnis. Ujung-ujungnya, negara lepas tangan dalam perkara menyejahterakan rakyat termasuk perempuan.
Berbeda halnya jika perempuan hidup dalam naungan syariat Islam. Islam menjaga kemuliaan perempuan sesuai dengan fitrah penciptaannya. Perempuan dapat berperan optimal sebagai istri, ibu dan pengatur rumah tangga, tanpa harus mengkhawatirkan kesejahteraan. Hal ini dikarenakan Islam memiliki berbagai mekanisme yang dapat menjamin kesejahteraan seluruh manusia, termasuk perempuan.
Di sisi lain, Islam juga membolehkan perempuan untuk bekerja. Namun, bekerjanya perempuan adalah untuk mengamalkan ilmu dan memberi manfaat pada umat, bukan tuntutan menanggung nafkah keluarga. Islam juga akan memenuhi hak perempuan dalam berbagi bidang kehidupan sesuai dengan tuntunan syariat. Jelaslah, perempuan akan sejahtera secara nyata tatkala diatur oleh syariat Islam secara menyeluruh dalam kehidupan. Wallahu a’lam bishshowab.