Oleh: Rumi*
Hampir setiap tahun, pada tanggal 1 Mei, para buruh melakukan unjuk rasa untuk menyuarakan hak-haknya sebagai buruh yang belum sepenuhnya terpenuhi. Di antara tuntutan yang disuarakan adalah upah yang layak, kontrak kerja, dan lain sebagainya. Tuntutannya sangatlah sederhana, yakni menagih janji kesejahteraan buruh.
Demo atau unjuk rasa yang dilakukan oleh para buruh menjadi salah satu bukti belum tercapainya kesejahteraan buruh di Indonesia. Mereka vokal menyuarakan tuntutan yang sama. Indonesia memiliki sejarah kelam mengenai demo buruh yang menewaskan seorang perempuan bernama Marsinah pada tahun 1993. Kesejahteraan buruh sudah menjadi polemik bahkan hingga sampai saat ini.
Seolah belum menemukan titik temu penyelesaian, kini kaum buruh kembali dikejutkan dengan disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober 2020. Sekalipun mendapat penolakan keras dari berbagai lini masyarakat, lolosnya Undang-Undang kontroversial tersebut membuat seluruh masyarakat terheran-heran.
Regulasi ketenagakerjaan di Tanah Air seringkali jutsru berpihak kepada pengusaha atau investor. Hal ini membuat kesenjangan sosial antara pengusaha dan buruh. Upah pekerja Indonesia (95 US$) lebih kecil dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Seperti Filipina (142 US$), Laos (140 US$), dan Kamboja (166 US$). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan rata-rata upah buruh pada Februari 2020 sebesar Rp. 2,92 juta per bulan. Realita yang ada mengatakan bahwa jumlah tersebut belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan pokok minimum di Indonesia. Apalagi, jika Omnibus Law Cipta Kerja benar adanya merugikan buruh, maka semakin terpuruklah nasib para buruh di Tanah Air. (kompas.com/10/10/20)
Kecenderungan yang berpihak pada investor merupakan ciri khas Kapitalisme yang saat ini bercokol di Tanah Air. Roda perekonomian berada di tangan para pemilik modal. Cara apa saja dapat ditempuh demi mewujudkan kesejahteraan. Imbasnya, kesenjangan sosial semakin menjadi. Si kaya semakin berjaya, si miskin makin menderita. Ironi yang dapat dirasakan saat ini.
Hal ini justru berkebalikan dengan bagaimana Islam memandang kaum buruh. Islam begitu memerhatikan buruh. Terbukti adanya beberapa ketentuan syariah dalam perburuhan guna melindungi kaum buruh.
Pertama, kejelasan waktu atau durasi pekerjaan, besaran upah, dan jenis pekerjaan. Kedua, upah buruh tidak diukur dari standar hidup minimum di suatu daerah seperti yang saat ini dipakai oleh Kapitalisme, melainkan dalam Islam besaran upah mesti sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja. Hal yang memengaruhinya adalah jenis pekerjaan, waktu bekerja, dan tempat bekerja. Sehingga meski pekerjaan dan kemampuan sama, tetapi waktu dan tempat bekerje berbeda, maka berbeda pula upah yang diberikan. Ketiga, perusahan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati.
Islam menjamin kesejahteraan kaum buruh melalui sedikitnya tiga hal yang telah dijelaskan di atas. Khilafah Islam hadir mengurusi dan melindungi kepentingan seluruh masyarakat, baik pengusaha maupun pekerja.
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Mari kita berjuang untuk tegaknya Islam yang akan mensejahterakan semua umat dalam naungan Khilafah yang akan menerapkan hukum syara yang penuh rahmat dan berkah.
Wallahu A'lam Bishawab.
*(Mahasiswi Kampus Cirebon)
Tags
Opini