KEBIJAKAN KAPITALIS KEMBALI MEMBUAT RAKYAT MENANGIS




Oleh : Ummu Aqeela¹


Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kini tengah menjadi perbincangan yang memanas usai gelombang penolakan kian kuat dari kalangan buruh dan mahasiswa. Undang-undang yang baru saja disahkan DPR RI dan pemerintah pada rapat paripurna yang digelar pada Senin 5 Oktober atau maju dari jadwal sebelumnya yang akan disahkan pada Kamis 8 Oktober 2020 dinilai tak membela kepentingan buruh dan pekerja. Aksi mogok dan demonstrasi terjadi di sejumlah daerah dan menyebabkan gelombang mogok nasional. Hal ini terjadi di tengah pandemi Covid-19 dan perekonomian Indonesia yang masih terpuruk bahkan di gerbang jurang resesi karena pandemi. 
( https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01807629/ridwan-kamil-disentil-mantu-sby-sang-gubernur-komentari-uu-cipta-kerja-annisa-pohan-sehat-kang )

Ini membuktikan bahwa cara pemerintah memecahkan dan mengatasi persoalan melalui UU Omnibus Law Cilaka belum beranjak dari cara lama, yaitu bersandar pada pemahaman usang yang terbukti gagal. Yang terjadi malah sebaliknya lahirnya UU tersebut makin memperburuk ketimpangan antara ‘kaya’ dan ‘miskin’. Dan semakin mejadi gamblang bahwa itu dilahirkan karena ambisi besar penguasa akan investasi serta keberpihakan terhadap kapital hingga nekat pasang badan. Memang benar dalam ideologi kapitalisme tidak ada yang langgeng, apa pun bisa berubah. Demikian juga perundang-undangan dan peraturan yang sudah dibuat, sah saja dilanggar bahkan diganti dengan kebijakan baru, yang tetap didalamnya hanyalah kemaslahatan dan keuntungan materi. Dan hal inilah yang harus terus dipertahankan keberadaannya. Hanya demi meraup keuntungan segala macam cara akan dilakukan, sekalipun kontradiktif dengan aturan lainnya. Ketidakjelasan aturan juga merupakan bukti, bahwa penganutnya saat ini tidak memiliki dasar yang benar dalam membuat aturan dan kebijakan. Berbagai peraturan yang dibuat terkesan asal-asalan dan reaktif karena adanya tuntutan dan tekanan dari pihak lain yang sebenarnya lebih berkuasa.

Negara dimata para Kapitalis dianggap sebagai ladang bisnis berbasis politik. Pemerintah tak ubahnya seorang sales untuk mempromosikan bisnis-bisnis ekonomi. Sehingga yang terjadi bentuk tanggungjawab negara dan para politisi terganti dengan adanya pengaruh para penguasa korporasi. Dengan dalih ingin memperbaiki dunia, maka para pebisnis memanfaatkan celah yang dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mendapatkan keuntungan. Melalui strategi pencitraan, masalah-masalah negara digunakan sebagai alat yang dianggap dapat meningkatkan pendapatan. Dari sekian korban kapitalisme kaum buruh merupakan contoh yang nyata akibat ambisi kapitalisme. Dengan menekan biaya produksi, maka eksploitasi buruh terjadi secara massal. Bentuk eksploitasi berupa jam kerja buruh yang diatas normal, gaji yang tidak sesuai dengan standar kebutuhan hidup layak, tidak adanya jaminan sosial.  Inilah realita kapitalisme ketimpangan sosial secara tidak langsung mengubah struktur masyarakat menjadi dua bagian, kaya dan miskin. Kaum buruh akan meratapi nasibnya dan para kapitalis akan semakin meraih  kejayaannya.

Sejatinya setiap orang mendambakan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan ekonomi dalam dirinya. Karena itu, negara diharapkan hadir untuk menjamin terwujudnya keadilan dan kesejahteraan setiap individu rakyatnya. Bahkan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan merupakan cita-cita setiap negara. Negara ideal ialah negara yang adil dan sejahtera. Sebaliknya, sebuah negara disebut negara gagal ketika tidak mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Pada gilirannya, negara yang gagal akan cenderung diwarnai oleh gejolak dan resistensi ditengah-tengah masyarakatnya seperti yang terjadi saat ini. 

Di tengah pandangan ekstrem tersebut, Islam menawarkan sistem sosial yang berkeadilan dan bermartabat dalam bingkai Khilafah Islamiyah secara kaffah. Islam memberikan penghargaan tinggi terhadap pekerjaan, dan buruh yang bekerja mendapatkan penghasilan dengan tenaganya maka wajib dihormati. Karena dalam perspektif Islam, bekerja merupakan kewajiban mulia bagi setiap manusia agar dapat hidup layak dan terhormat. Bahkan kedudukan buruh dalam Islam menempati posisi terhormat. Rasulullah saw pernah menjabat tangan seorang buruh yang bengkak karena kerja keras, lalu menciumnya dan berkata: “Inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari). 

Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya masalah kepemimpinan negara. Sistem kepemimpinan negara dalam islam berbeda dari sistem lain yang ada di dunia, baik itu kerajaan, republik maupun parlementer. Sistem Islam ini disebut dengan Khilafah, lahir dari hukum syara’, bukan lahir dari para pemikir di kalangan manusia. Dengan demikian kedudukannya lebih kuat karena aturan-aturan yang dilahirkan dikiblatkan secara langsung terhadap sang Pencipta manusia.
Sistem kekhilafahan memiliki perbedaan dengan sistem demokrasi yang diterapkan dunia saat ini.  Pemimpin dalam demokrasi hanya berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan amanat rakyat. Dalam praktiknya, yang disebut “rakyat” tersebut hanyalah sebatas pada para pemilik modal dan kekuatan.  Tak heran jika kemudian pemimpin hanya berfungsi sebagai fasilitator, yakni memberikan fasilitas bagi orang-orang bermodal untuk menguasai negara.
Sementara dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama, sebagai Raa’in dan Junnah bagi umat. Kedua fungsi ini dijalankan oleh para Khalifah sampai 14 abad masa kegemilangan Islam. Pasang surut kekhilafahan secara sunnatullah memang terjadi, tapi kedua fungsi ini ketika dijalankan sesuai apa yang digariskan syara’, terbukti membawa kesejahteraan dan kejayaan umat Islam.


Khalifah adalah Raa’in

Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). 
Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Makna raa’in ini digambarkan dengan jelas oleh Umar bin Khaththab, ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan dua anaknya yang kelaparan sampai-sampai memasak batu.  Atau ketika beliau di tengah malam membangunkan istrinya untuk menolong seorang perempuan yang hendak melahirkan . Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorangpun yang berhak menerima zakat.

Khalifah sebagai Junnah

Nabi Muhammad Saw bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Makna ungkapan kalimat “al-imamu junnah” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya. 


Dengan khilafah dibawah kepemimpinan khalifah, umat akan terjaga, kembali pada nilai jualnya, pada marwahnya menjadi umat terbaik di muka bumi.
Allah ta’ala berfirman,
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110).
Khilafah adalah bagian ajaran Islam yang layak untuk diperjuangkan, ajaran Islam yang ketika diterapkan akan menciptakan kedamaian dan keberkahan suatu negeri. Penerapan syariah oleh Khilafah akan membawa kemajuan yang menakjubkan, sebaliknya abai darinya menjadi titik lemah, terhantam berbagai krisis, kerusakan, dan ketertinggalan. Seperti kondisi saat ini. Belum genap satu abad Khilafah lenyap, tapi dunia kian suram, bumi pun terancam. Negeri kita kritis. Umat dihantam penderitaan bertubi-tubi. Tak aneh jika gemuruh kerinduan kepada Khilafah menguat. Jika kebangkitan umat diibaratkan seperti brankas, maka Khilafah adalah password untuk membuka kuncinya. Tanpanya, peradaban gemilang hanya sebatas wacana, manisnya sulit diindera. Hanya ada satu jalan bagi kemenangan Islam, yakni dengan menegakkan Khilafah. Untuk itu berjuang dalam penegakan janji Allah ini ada bentuk totalitas sebagai hamba yang bertakwa dan berkelas.

Wallahu’alam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak