(Oleh : Ummu Hanif, Pengamat Sosial Dan Keluarga)
Satu tahun hampir menjelang, Namun wabah belum ada tanda menghilang. Bahkan di beberapa kota besar, Jakarta misalnya, harus memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk yang kedua kalinya. PSBB ke dua ini, akan berakhir besok, tanggal 11 Oktober 2020, dan belum ditetapkan apakah akan diperpanjang atau diselesaikan.
Kota – kota lain juga tidak kalah mencekam. Sebut saja jawa timur, menurut data di www.wikipedia.com pada 6 oktober 2020 disebutkan, meski menduduki peringkat kedua jumlah penderita covid setelah Jakarta, namun Jawa Timur menduduki peringkat teratas untuk jumlah pasien yang meninggal karena covid 19.
Kalau kita perhatikan, ada dua golongan besar dalam menyikapi pandemi, dan keduanya seolah saling menegasikan. Dan berdasarkan dua golongan inilah berawal perdebatan di kalangan pengambil kebijakan.
Yang pertama adalah golongan bermazhab ekonomi. Mereka memandang kemiskinan lebih berbahaya daripada penularan Covid-19. Kemiskinan akan menjadi pembunuh massal, tidak hanya mereka yang terinfeksi covid, tapi masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan yang kedua adalah golongan bermazhab kesehatan, Mereka memandang bahwa kesehatan harus diutamakan ketimbang masalah ekonomi. Karena tanpa orang sehat, ekonomi juga akan tumbang dengan sendirinya. Bahkan nyawa menjadi taruhannya.
Sementara itu, pemerintah pusat terkesan berlepas tangan denngan menyerahkan kebijakan penanganan covid 19 ini pada daerah masing – masing. Pemerintah pusat juga cenderung untuk melakukan kompromi atau jalan tengah dari dua kubu yang disebutkan di atas. Seperti yang dilansir www.cnbcindonesia.com, pada 2 oktober 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali menyatakan pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) jauh lebih efektif ketimbang kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara ketat. Masih dari sumber yang sama, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengaminkan apa yang telah disampaikan presiden joko Widodo dengan mengemukakan bahwa keputusan menerapkan PSBB biasanya secara langsung akan menutup segala aktivitas di suatu wilayah tertentu. Dan hal ini akan berdampak besar bagi masyarakat secara luas.
Tidak dipungkiri, pandemi membawa dampak serius dalam kehidupan di negeri ini. Selain tingkat kematiannya tertinggi se asia tenggara, angka kemiskinan melonjak tajam, gelombang PHK menghantam, KDRT dan perceraian juga mewarnai kehidupan banyak keluarga. Yang lebih menyusup ke hati, problematika di atas seolah sedang dinarasikan sebagai akibat dari datangnya virus ini. Padahal sejatinya yang menyebabkan Indonesia babak belur dalam pertarungannya dengan Covid-19 adalah kebijakan negara yang salah langkah. Membebek pada barat dan kebijakannya sarat kepentingan korporasi.
Lihat saja kebijakan negeri ini yang berubah-ubah dan berputar pada masalah ekonomi. Misal di awal pandemi ini saat negara lain menutup akses pintu negaranya. Negara ini malah membayar buzzer demi mengundang wisatawan. Bahkan akses dengan Cina sebagai sumber wabah tak ditutup. Andai saja kebijakan menutup akses dilakukan dari awal, niscaya penyebaran virus tidak akan terjadi seperti sekarang. Dan mungkin sektor ekonomi tidak akan terkena imbas sedahsyat sekarang.
Indonesia diambang resesi ekonomi. Roda perekonomian turun drastis. Ratusan triliun asset pengusaha hilang beserta dengan membludaknya perusahaan yang gulung tikar. PHK merajalela, UMKM mati, pendapatan berkurang, jadilah angka kelaparan meningkat tajam.
Lalu di tengah teriakan masyarakat akan penanganan pemerintah yang buruk, seperti bansos yang tak tepat sasaran dan APD untuk nakes yang tak di-support negara. Pemerintah malah melirik solusi barat dengan menerapkan new normal, padahal virus masih merajalela. Pemerintah membuka kembali sektor perekonomian. Itu artinya masyarakat disuruh berjuang sendirian. Sesuai dengan prediksi, lonjakan angka penularan pasca-new normal terjadi. Rumah sakit sudah mulai penuh, kematian pasien dan dokter pun sangat tinggi. Sehingga jika hari ini diberlakukan PSBB kembali atau PSBM sejatinya hal demikian adalah wujud tambal sulam buruknya tata kelola negeri ini.
Islam sebagai agama yang sempurna, sungguh telah memiliki aturan yang paripurna. Kebijakan menutup seluruh kegiatan ekonomi seperti blanket lockdown dan PSBB ala barat tak sesuai dengan anjuran Rasulullah Saw. Wajar perekonomian kolaps karena yang Rasulullah Saw. ajarkan adalah hanya mengisolasi daerah yang terkena wabah. Sementara penduduk diluar wabah beraktivitas seperti biasa. Area yang terkena wabah akan di-support penuh kebutuhannya oleh negara. Keberadaan Rumah Sakit sepenuhnya di bawah kendali negara. Sehingga pengobatan yang berkualitas dan juga gratis hingga sembuh bukan hanya isapan jempol semata.
Wallahu a’lam bi ash showab.