Hutang Berbukit, Warisan Kolonial?



Oleh: Lia Hernawati, Komunitas Muslimah Coblong Bandung

Jerat utang seakan menjadi hal lumrah yang berlaku pada banyak negara di dunia. Bahkan menjadi bagian dari sistem perekonomian dunia. Dilansir dari detik.com, Bank Dunia mengeluarkan data International Debt Statistics pada 12 Oktober 2020. Dalam data tersebut, Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar di antara negara berpendapatan menengah dan rendah. Jumlah utang Indonesia mencapai USD 402 miliar, atau sekitar Rp 5.889 triliun (kurs Rp 14.650 per dolar Amerika Serikat). Sedangkan berdasarkan data Bank Indonesia, pada Agustus 2020, jumlah utang luar negeri Indonesia mencapai USD 413,4 miliar.

Namun Kemenkeu Sri Mulyani berkilah, dengan menyatakan bahwa laporan Bank Dunia tidak menyertakan negara-negara maju melainkan negara-negara dengan kategori berpendapatan kecil dan menengah. Alhasil, terlihat bahwa posisi Indonesia, masuk dalam golongan 10 negara dengan ULN terbesar. Lebih lanjut ia menyebut hutang Indonesia sudah mencapai ribuan triliun dan hutang tersebut merupakan warisan dari Belanda. Belanda telah mewariskan ekonomi yang rusak dan juga hutang.

Masih menurut Sri Mulyani, menurutnya secara perjalanan cerita yang dialami Indonesia dengan ekonomi yang penuh tekanan, pada akhirnya Indonesia tetap bisa keluar dengan ekonomi yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Sebaliknya, menurut Politisi dari Gerindra, Fadli Zon menyatakan justru realitanya saat ini perekonomian di Indonesia semakin sulit. Dipaparkan Fadli Zon, saat ini Indonesia banyak menghadapi masalah ekonomi. Seperti nilai tukar rupiah yang melemah dan juga utang negara yang terus menumpuk. "Kita mempunyai masalah fisikal, masalah pendapatan kita dari pajak kita punya masalah pengeluaran, masalah moneter." Ucapnya (Tribunnews.com, 17/10/2020).

Ekonom senior DR. Rizal Ramli dalam acara Indonesia Lawyers Club tvOne bertajuk “Setahun Jokowi-Maruf: Dari Pandemi sampai Demonstrasi”, Selasa (20/10), mengurai dampak buruk dari kebiasaan pemerintah berutang. Utang pemerintah sudah sangat besar, sehingga untuk membayar bunganya saja harus meminjam lagi. Tidak hanya itu, utang tersebut juga berdampak pada pertumbuhan kredit yang memble di angka 6 persen. Padahal kalau situasi normal, laju pertumbuhan kredit harus di angka 15 persen.

Klaim Kemenkeu Sri Mulyani mendapatkan respons dari pengamat sekaligus pakar ekonomi Islam, Nida Sa’adah, S.E.Ak., M.E.I.. Menurutnya, pernyataan Menkeu Sri Mulyani itu jadi semacam pengakuan tidak langsung bahwa selama ini Indonesia gagal menjadi negara merdeka.

“Pernyataan Menteri Keuangan itu cukup menggelitik. Apa parameter yang digunakan untuk menilai situasinya makin baik? Karena yang jelas terlihat adalah utang yang makin bertumpuk dan dampak lanjutannya adalah Indonesia harus melepas satu demi satu aset milik umat kepada negara/lembaga kreditur!” tegasnya.

Nida mempertanyakan kenapa selalu mengandalkan utang dalam pembiayaan ekonomi, terlebih utangnya ribawi. Padahal menurutnya, membangun tanpa utang sangat niscaya dilakukan jika negara menerapkan sistem ekonomi Islam dan konsep keuangan negara baitulmal.

Konsep baitulmal ini pernah diterapkan selama 13 abad sepanjang peradaban Islam. Ia menjelaskan, baitulmal memiliki tiga pos besar pemasukan negara yang jumlahnya sangat besar dan berkelanjutan. Tiga pos tersebut yakni dari pengelolaan aset milik umum, pengelolaan aset milik negara, dan zakat mal.

“Saat itu, kas keuangan negara sangat besar tanpa membebani rakyat dengan pajak. Juga tanpa berutang kepada negara lain atau lembaga keuangan internasional,” ujar Ustazah Nida kepada MNews, 18/10/2020.

Selama 1.300 tahun masa pemerintahan Islam, defisit keuangan negara hanya terjadi dua kali. Suatu fenomena yang tidak bisa ditandingi negara modern mana pun hari ini.

Defisit pertama terjadi di awal pemerintahan Nabi saw. karena pada saat itu, Negara Islam di Madinah merupakan negara yang baru berdiri. Namun, defisit itu bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari setahun, tepatnya pascaperistiwa Fathu Makkah.

Kemudian, defisit kedua terjadi di masa Ibnu Furad akibat beberapa penyimpangan pengelolaan. Ini pun bisa diselesaikan ketika semua regulasi diperbaiki kembali mengacu kepada syariah kaffah.

Oleh sebab itu, dapat ditarik sebuah tanda tanya besar bahwa mengapa para penguasa selalu menolak semua regulasi yang diberikan Islam dan malah mengandalkan utang ribawi. Padahal tinta emas sejarah Islam mencatat bahwa anjloknya ekonomi pada masa Islam dapat teratasi dengan penerapan aturan Islam secara menyeluruh.

Abaikah kita dengan peringatan Allah Ta’ala yang mengatakan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba yang tercantum pada surah Al Baqarah ayat 275.

Ketergantungan negeri-negeri kaum muslimin, khususnya negeri ini pada investasi atau pinjaman asing menandakan bahwa sistem ribawi memang mengakar sejak lama. Ketika praktik riba sudah merajalela di sebuah negeri, maka negeri tersebut seolah lancang karena mengabaikan firman Allah swt yang jelas mengharamkan aktivitas ribawi. Maka kehancuran sistem ekonomi suatu negeri yang diakibatkan oleh utang ribawi yang menggunung adalah niscaya.

Sehingga, kondisi negeri yang menumpuk utang warisan kolonial yang tentu sepaket dengan sistem ekonomi yang dijalankannya, jika dijalankan secara terus menerus, kondisi ekonomi ini rentan seperti berjalan di atas lapisan es tipis yang siap menenggelamkan. Kemudian, wajar jika umat di dalamnya merasa cemas dan khawatir untuk menambatkan kepercayaan pada sistem ribawi tersebut.

Maka, sebagai umat Islam, masihkah tidak mau mengambil aturan Allah swt untuk mengentaskan resesi ekonomi ini? Apakah masih mau berpegang erat pada tali yang rapuh ala sistem ribawi kapitalistik? Tentu pilihan ada di tangan umat, khususnya para pemegang kekuasaan yang umat berharap pada mereka.

Wallahu a’lam bish shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak