Oleh : Ika Mustika
Media asal Jerman Deutch Welle (DW) yang juga memiliki cabang di Indonesia pada tanggal 25 September memposting sebuah narasi tentang hijab di akun twitternya yang berjudul “Apakah anak-anak yang dipakaikan hijab itu memiliki pilihan atas apa yang ia kenakan?”. Postingan yang disertai video tersebut cukup menyita perhatian netizen di Indonesia karena dinilai mengandung sentimen terhadap ajaran Islam (Islamophobia). Dalam video itu DW Indonesia mewawancarai ibu yang mewajibkan putrinya berhijab sejak kecil. Sang ibu mengungkapkan bahwa anaknya telah terbiasa karena melihat orang tuanya memakai jilbab kalau pergi keluar atau ada tamu yang datang berkunjung. (twitter.com)
Dalam video, media tersebut bertanya pada psikolog Rahajeng Ayu tentang dampak psikologis anak yang memakai hijab sejak dini. Hal ini disebabkan karena seorang anak belumlah mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab. Jadi anak-anak mungkin memakai hijab, tapi ia tidak mengerti konsekuensinya. Permasalahannya apabila di kemudian hari ia bergaul dengan teman-temannya maka akan muncul kebingungan tentang dirinya yang memakai hijab dan berbeda dengan teman lainnya. Hingga muncul pertanyaan apakah dengan pakaian tersebut dia memiliki batasan untuk bergaul?
DW Indonesia juga mewawancarai feminis muslim, Darol Mahmada tentang dampak sosial anak yang diharuskan memakai hijab sejak kecil. Menurutnya, wajar-wajar saja seorang ibu atau guru mengharuskan anak memakai hijab sejak kecil. “Tetapi kekhawatiran saya sebenarnya lebih kepada membawa pola pikir si anak itu menjadi eksklusif karena dari sejak kecil dia ditanamkan untuk misalnya “berbeda” dengan yang lain,” kata Darol. (pikiran-rakyat.com)
Sebagai seorang Muslimah, tentu kita tidak boleh menelan bulat narasi tersebut. Apalagi jika dilontarkan oleh kelompok yang memang “gemar” menyerang pemikiran Islam. Mereka selalu mencari celah agar dalam diri seorang Muslimah timbul keraguan dalam menjalankan syariat Islam yang agung. Padahal aturan Islam tentang hijab memiliki tujuan yang mulia, yaitu untuk menjaga kehormatan perempuan.
Memakaikan hijab pada anak pun bukanlah sebagai bentuk pemaksaan terhadap mereka. Tapi tujuannya adalah sebagai pengenalan dan pembiasaan pada diri anak. Ketika anak merasa kurang nyaman atau merasakan gerah, maka mereka diperbolehkan untuk melepas hijabnya. Dalam pandangan Islam anak-anak memang belum diwajibkan untuk menutup aurat secara sempurna. Tapi ketika baligh mereka sudah menjadi seorang mukallaf dan harus terikat dengan hukum syara, termasuk dalam aturan berpakaian yaitu memakai hijab/khimar (kerudung) dan Jilbab (baju lurus tanpa potongan).
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS Al Ahzab:59)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak. menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (TQS An-Nur : 31)
Kekhawatiran kaum feminis tentang terbatasnya pergaulan anak karena hijab membuat sekat diantara mereka adalah sebuah narasi yang mengada-ngada. Karena hal tersebut sama sekali tidaklah benar. Pembiasaan terhadap anak bukanlah tujuannya membuat pergaulannya menjadi eksklusif dan berbeda. Akan kita dapati anak-anak yang memakai hijab terbiasa bermain dengan temannya yang belum berhijab. Bahkan justru mereka menginginkan pula untuk memakai hijab tersebut.
Memang sudah fitrahnya manusia menginginkan kebaikan, dan memakai hijab pada anak adalah lebih baik daripada memakaikan anak dengan pakaian yang serba minim, yang justru rentan kejahatan seksual terhadap mereka. Terlebih lagi naluri untuk taat menjalankan aturan agama adalah sebuah fitrah. Naluri ini dinamakan naluri untuk beribadah (gharizattun tadayun), yang memang perlu ditanamkan semenjak dini dengan seraya membina anak dengan tsaqofah Islam (wawasan Islam) bukan dengan tsaqofah lain.
Tags
Opini