Oleh: Izzatil Khasanah
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Berbagai
persoalan terus saja menimpa negeri ini. Tidak terkecuali di setiap daerahnya.
Seperti halnya yang di sampaikan oleh dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kalimantan Selatan yang menyambut
kepulangan 5 remaja korban Eksploitasi anak di Kantor Dinas Sosial Kalsel.
Serah terima dilakukan bersama Dinas Sosial Paser, Kalimantan Timur. Jumat
(26/9/2020)
Lima remaja asal Kalsel ini
diketahui dijadikan korban eksplotasi seksual dengan pola prostitusi daring.
Mereka berinisial ND (13 tahun) dari Kab.Banjar, IS (16 tahun) warga Tanah Laut
, DR (16 tahun) dari HSU, NJ (17 tahun) dari Banjarmasin serta MAR (19 tahun)
dari Banjarmasin. (dpppa.kalselprov.go.id)
Memang tidak dipungkiri masih
banyak kasus-kasus pelecehan seksual yang kerap menimpa perempuan dan anak
Indonesia. Bahkan, catatan tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap
Perempuan (Catahu Komnas Perempuan) 2020 yang diluncurkan, Jumat (6/3/2020) di
Jakarta, mencatat kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2019
mencapai 431.471 kasus.
Angka ini jauh melonjak
dibandingkan Catahu Komnas Perempuan 2008 yang jumlahnya mencapai 54.425 kasus.
Itu artinya, angka kekerasan pada Perempuan hingga di level mengkhawatirkan,
yaitu 8 kali lipatnya atau naik sebesar 792 persen.
Dalam laporan Komnas Perempuan
dalam 5 tahun terakhir: (1) tahun 2019 tercatat 406.178 kasus; (2) tahun 2018
tercatat 348.466 kasus; (3) tahun 2017 tercatat 259.150 kasus; (4) tahun 2016
tercatat 321.752 kasus; dan (5) tahun 2015 tercatat 293.220 kasus.
Kasus-kasus tersebut baik meliputi
ranah personal, komunitas, maupun negara. Ranah personal seperti meningkatnya
angka kekerasan terhadap anak perempuan pada 2019 artinya rumah bagi anak
perempuan sudah tidak aman lagi.
Lebih mencengangkan saat Komnas
Perempuan menemukan jumlah laporan kekerasan terhadap anak perempuan meningkat
sebanyak 2.341 kasus atau sekitar 65 persen dibanding tahun lalu. Inses
menduduki peringkat pertama dari semua jenis kekerasan yang dialami anak
perempuan, yaitu sebesar 822 kasus dan setelahnya ada 792 kasus pemerkosaan.
Komnas Perempuan juga mencatat
fenomena kasus femisida (pembunuhan terhadap perempuan karena status gender).
Dari pemantauan di media daring sepanjang 2019 terdapat 145 kasus
femisida(www.muslimahnews.com/24/3/20).
Berawal dari kegelisahan atas
maraknya kasus kekerasan seksual dan minimnya pemahaman atas hak-hak dasar
wanita, Narasi Perempuan lantas dibentuk sejak 14 Mei 2019 lalu oleh sejumlah
mahasiswa lintas kampus di Kota Banjarmasin.
Target para penggeraknya
berkomunitas tak muluk-muluk. Pada tahap awal pembentukan, komunitas yang punya
basis anak-anak feminis ini cuma ingin warga Banjarmasin lebih dulu sadar atas
permasalahan krusial yang memberangus hak-hak perempuan seperti kasus kekerasan
seksual, pernikahan dini, dan lainnya(banjartimes.com/12/8/20).
Berawal dari pandangan bahwa kaum
perempuan berada pada posisi yang lemah dalam hierarki sosial. Posisinya yang
sering kali menjadi subordinat alias pelengkap posisi laki-laki, meniscayakan
perempuan selalu menjadi korban dalam setiap interaksinya.
Hal demikian menurut paham feminis
adalah akibat dari budaya patriarki yang telah bermutajasat dalam
tatanan sosial masyarakat. Sehingga, selama budaya patriarki masih
dilanggengkan oleh individu, masyarakat, bahkan negara, kekerasan terhadap
perempuan akan terus tercipta. Maka dari itu, sangatlah wajar jika para feminis
terus menyuarakan ide kesetaraan. Baik penyadaran dalam bentuk kampanye,
konferensi internasional, seminar-seminar di institusi pendidikan, hingga
deklarasi yang bermuara pada upaya pelegalan dalam bentuk kebijakan pemerintah.
Seperti
Deklarasi Beijing tahun 1995 di Cina yang diadopsi oleh 189 negara, termasuk
Indonesia. Tahun ini, 2020, Indonesia melakukan evaluasi terhadap 25 tahun
pencapaian Deklarasi tersebut. Kekerasan terhadap perempuan, termasuk salah
satu bidang yang sangat penting, karena termasuk dalam 12 bidang kritis dalam dokumen
BPfA (Beijing Platform for Action).
Faktanya, negara-negara yang
terkenal dengan kebijakannya yang progender, yang disandarkan pada indeks
kesetaraan Gender PBB, nyatanya adalah negara dengan insiden kekerasan
tertinggi, seperti Denmark (52%), Finlandia (47%), dan Swedia (46%).
Karena sesungguhnya kejahatan pada
perempuan tidak akan selesai hanya dengan melegalisasi undang-undang. Sementara
ideologi yang menaungi negaranya adalah ideologi kapitalisme yang merendahkan
perempuan. Misalnya saja undang-undang progender yang bertujuan untuk
menghormati perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan
adalah sesuatu yang lumrah di sistem kehidupan yang kapitalistik. Hal tersebut
dikarenakan kapitalisme tidak menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang
harus dijaga. Kapitalisme hanya menjadikan perempuan sebagai sekrup-sekrup
hegemoni mereka, yang bisa dieksploitasi kapan saja.
Hanya Islam dengan seperangkat
aturannya yang telah menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus
dijaga. Perempuan harus diberi perlindungan dan dijaga kehormatannya, termasuk
di dalamnya terhadap kekerasan. Wallahu a’lam bishawab.