Oleh: Analisa
Pandemi Covid-19 belum juga usai. Pada 2 Maret 2020, untuk pertama kalinya pemerintah mengumumkan dua kasus pasien positif Covid-19 di Indonesia, dan sampai saat ini wabah Covid-19 belum selesai. Kasusnya semakin hari semakin meningkat tajam. Korban berjatuhan dari berbagi pihak, baik masyarakat maupun paramedis sebagai garda depan dalam penanganan Covid-19.
Tujuh bulan berlalu rakyat dalam keadaan cemas, takut, penuh dengan kekhawatiran serta aktivitas yang biasa dilakukan dialihkan secara virtual. Tetap waspada dan menerapkan protokol kesehatan, menghindari kegiatan di luar rumah kecuali terpaksa atau darurat. Hal ini tentu menghadirkan suasana yang berbeda dalam masyarakat.
Keadaan ini semakin membuat resah. Pasalnya kemiskinan semakin naik, PHK masal dan kriminal kian brutal. Belum lagi tingkat perceraian melesat tajam. Inilah buah ekonomi yang kian terpuruk di ambang resesi yang berkepanjangan, hingga menyebabkan daya beli masyarakat menurun.
Resesi dalam negeri telah terjadi berulang kali dan tetap menggunakan solusi yang tidak pasti, ditambah dengan hadirnya wabah dan akhirnya menjadi semakin menambah penderitaan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan resesi ekonomi juga dapat diartikan sebagai tekanan dalam ekonomi baik pada sektor keuangan maupun sektor riil.
Munculnya resesi ekonomi, biasanya ditandai dengan sejumlah hal. Misalnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akan berlanjut dan semakin merata di hampir semua sektor pekerjaan.
"Mau perdagangan, transportasi, properti, sampai ke industri akan melakukan efisiensi pekerja untuk tekan biaya operasional," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/9/2020).
Kurangnya keseriusan negara dalam penangan ekonomi mengakibatkan resesi yang berkepanjangan. Rakyat selalu jadi korban keganasan sistem yang menghancurkan ini.
Kapitalis global menjadi candu mematikan apabila terus dijadikan acuan dalam menangani kehidupan. Solusi yang tidak pasti bahkan tidak tepat sasaran dan akhirnya ribawi selalu jadi solusi untuk menyelesaikannya.
Padahal, ribawi dalam Islam hukumnya haram, telah sangat gamblang dijelaskan dalam firman Allah: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah[2]: 275).
Sungguh, betapa kita membutuhkan payung yang dapat melindungi kita dari resesi kemiskinan dan kelaparan ini. Pelindung yang menjaga dan memberikan keamanan kesehatan pendidikan yang layak walau sekalipun dalam keadaan pandemi disuatu negeri.
Dalam sejarah, peradaban Islam pernah mengalami krisis. Namun berbeda penyebabnya dengan sistem Islam. Sistem Islam tidak mengenal bahkan tidak memperbolehkan pengembangan sektor keuangan seperti ribawi dan aktivitas spekulatif lainnya. Maka, krisis yang terjadi lebih disebabkan karena adanya wabah atau bencana alam.
Solusi jitu dalam Islam sangat pas dengan keadaan saat ini. dengan cara menata ulang kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan ekonomi mikro, serta kebijakan mata uang yang baik dengan menggunakan dinar dan dirham. Maka sudah pasti aturan yang berasal dari Ilahi rabbi dapat terselesaikan dengan baik dan benar.
Khilafah senantiasa menjaga kestabilan pangan sandang dan papan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Segala jenis ribawi dan judi dibersihkan dan mengubur dalam-dalam tindak penyelewengan syariat, dengan tetap menjaga takwa individu masyarakat serta jajaran pemerintahan dalam lingkup ekonomi syariah yang kafah.
Tentu semua terwujud apabila kita berjuang bersama mengembalikan Islam yang sempurna dan paripurna dalam kehidupan kita. Menjadi tolak ukur segala aktivitas kehidupan kita, agar tetap terjaga dalam koridor syara'. Sehingga kita layak penjadi makhluk yang taat kepada Allah dan Rasul rahmat dan keberkahan senantiasa turun untuk semesta alam.
Tidak kah kita ingin kembali hidup di bawah aturan-Nya? Yang telah terbukti bisa membawa kesejahteraan, keamanan dan ketentraman bagi semua umat manusia.
Wallahu a'lam bishawabb.