Ekonomi Rakyat Terdampak Pandemi, Pemerintah Hanya Singgung UMKM ?


Rica Ismail 

(Ibu Rumah Tangga)



Resesi adalah periode penurunan ekonomi dimana perdagangan dan akivitas industri di suatu negara berkurang, dan umumnya ditandai dengan penurunan permintaan dan pembelian dalam 2 kuartal berturut-turut. Pada kuartal ke 2 tahun ini Indonesia mengalami resesi parah, yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada angka minus 5,32 persen. Pada kuartal ke 3 tahun ini pun Indonesia bisa dipastikan masih berada dalam jurang resesi seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal III dan IV juga akan negatif (kompas.com, 23/9/2020).

Pemerintah telah berusaha menggerakan ekonomi di masa pandemi ini dengan memberikan berbagai bentuk bantuan sosial yang diserahkan langsung kepada masyarakat. Sayangnya jika melihat fakta di lapangan, bantuan sosial yang diberikan tidak cukup mampu memperbaiki keadaan ekonomi karena nyatanya belum bisa meningkatkan daya beli masyarakat. Menurunnya daya beli masyarakat merupakan efek domino dari turunnya pendapatan akibat gelombang besar pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. 

Negara pun melirik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) agar dapat tetap bergerak sehingga dapat meningkatkan sektor ekonomi riil di Indonesia. Sekretaris Kementrian Komperasi dan UKM Rully Indrawan menyatakan telah meluncurkan secara resmi bantuan dana sebesar 2,4 juta per pengusaha mikro yang dilakukan pada tanggal 24 agustus 2020 kepada 742.422 pengusaha. 

Secara khusus pemerintah membidik UMKM sebagai salah satu exit strategy untuk menangani resesi. Usaha mikro terbukti mampu bertahan dan dianggap bakal menyelamatkan ekonomi seperti saat krisis moneter pada 1997-1998. Hal itu juga yang disampaikan oleh  penerima penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial dan Bakti Koperasi dan UKM, Kurnia Agustina Naser yang berharap bahwa pelaku UMKM di Kabupaten Bandung segera bangkit dari keterpurukan akibat dampak dari pandemi Covid-19 (dara.co.id, 01/10/20). 

Adapun yang diharapkan dari UMKM, pertama bisa menghasilkan barang konsumsi dan jasa yang dekat dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, UMKM bisa memanfaatkan dan menggerakkan sumber daya lokal mulai dari SDM hingga barang baku.

Dengan menghidupkan UMKM, pemerintah tidak perlu berbuat banyak, kecuali hanya memberi stimulus dan cukup menjalankan peran sebagai regulator, bukan penanggung jawab penuh atas kesulitan rakyatnya. Di era Revolusi Industri 4.0 ini,  pemerintah sebagai regulator, cukup membuka link bagi pelaku UMKM dan korporasi penyedia kredit usaha, provider layanan daring, atau pemilik marketplace. Selebihnya, para wirausahawan itu akan berjibaku sendiri menentukan perjalanan usahanya.

Pemerintah merasa telah hadir saat memberikan berbagai pelatihan pasar digital kepada UMKM dan korban PHK akibat pandemi. Setelah mengikuti pelatihan, mereka diharapkan mampu membuka usaha, menjadi reseller atau online marketer.

Saat krisis terjadi di jagat kapitalisme, sektor riil terbukti mampu menjadi andalan utama ketika sektor finansial dan moneter kolaps. UMKM hanya ditempatkan sebagai mesin ekonomi di sektor riil, agar mampu bertahan di saat pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi krisis dan resesi ekonomi.

Jika UMKM berkembang, akan mampu merekrut pengangguran yang ada di sekelilingnya, bahkan turut menggiatkan sektor non-formal lainnya seperti jasa ojek, pengiriman barang, atau penjualan di warung kelontong. Tak perlu produksi komoditas canggih untuk menggerakkan ekonomi. Berjualan makanan ataupun keperluan rumah tangga saja, bakal mampu mendongkrak konsumsi warga, dan pada akhirnya akan menggairahkan pertumbuhan ekonomi skala mikro. Kehadiran pasar digital tentu bakal meningkatkan peluang pemasaran produk UMKM.

Bagaimanapun juga, mendongkrak pertumbuhan ekonomi melalui UMKM, tidak bakal menuntaskan problem ekonomi. Ibaratnya, solusi itu hanya sebatas obat pereda nyeri semata, bukan menghilangkan sumber penyakit utama. Secara makro, ekonomi masih terganggu karena fundamental ekonominya terlanjur rusak, bahkan cacat sejak kelahirannya.

Sumber penyakit utama resesi ekonomi adalah penerapan sistem kapitalisme. Sebagai sistem ekonomi, penerapan Kapitalisme pasti membawa kerusakan. Semua bermuara pada sistem yang ditopang sistem perbankan dengan suku bunganya, sektor non-riil yang melahirkan institusi pasar modal dan perseroan terbatas, utang luar negeri yang menjadi tumpuan pembiayaan pembangunan serta sistem moneter yang tidak disandarkan pada emas dan perak. Dan penyebab yang paling krusial dari kerusakan kapitalisme adalah saat pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang merupakan barang milik dan kebutuhan publik diprivatisasi para pemodal yang bersekutu dengan rezim-rezim korup. Karena itu, kekayaan alam yang seharusnya menjadi exit strategy bagi penanganan krisis dan resesi, saat ini tak bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. 

Padahal jika SDA di seluruh negeri muslim dikelola sesuai sistem politik ekonomi Islam, niscaya rakyat akan memiliki sumber daya yang cukup untuk bertahan bahkan memberikan mereka peluang untuk mengongkosi segala keperluan ekonomi dan kesehatan sekalipun diberlakukan lockdown.

Sayangnya pengelolaan SDA hanya untuk rakyat tidak akan pernah bisa diterapkan di sistem sekuler kapitalistik seperti saat ini. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan kekayaan rakyat adalah dengan menerapkan sistem ekonomi Islam secara komprehensif di bawah naungan institusi Daulah Khilafah Rosyidah 'ala minhajin nubuwwah.

Wallahu a'lam bish showab


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak