Oleh : Dina Eva
Perekonomian Indonesia saat ini tinggal beberapa jengkal menuju resesi akibat terdampak Corona. Kementerian Keuangan memproyeksikan perekonomian nasional berada di kisaran minus 2,9% sampai minus 1% di kuartal III-2020.
Sementara untuk proyeksi seluruh tahun 2020, Kementerian Keuangan menyebut berada di kisaran minus 1,7% sampai minus 0,6%. Pemerintah tidak kaget melihat laju perekonomian nasional menurun akibat pandemi Corona.
Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara mengungkapkan pemerintah sudah mengetahui ekonomi Indonesia bakal menurun sejak awal Maret atau saat pandemi Corona resmi masuk tanah air.
"Kalau kita bayangkan ekonomi ini dalam tekanan, secara hitung-hitungan ekonomi kita sudah membayangkan hal ini sejak Maret lalu. Kasus pertama pada awal Maret, sejak Februari ketika kasus ini sudah menekan di Tiongkok dan beberapa negara Eropa seperti Italia," kata Suahasil saat menjadi pembicara kunci di acara Seminar Nasional Sinergi Pengawasan APIP-SPI-APH secara virtual, Jakarta, Selasa (29/9/2020).
Suahasil mengatakan, ketika pandemi Corona masuk tanah air maka pemerintah sudah membayangkan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia. Salah satu dampak yang paling terasa adalah pendapatan negara yang turun akibat kegiatan ekonomi yang terbatas.
"Ketika Maret Indonesia akan terkena dan sekarang kena, pada saat itu pula kita berfikir yang namanya anggaran negara menjadi tulang punggung, APBN kita terkena dampak, kena imbas, seperti apa imbasnya kalau kegiatan eko turun maka penerimaan negara turun, ini dialami APBN dan APBD, semua kegiatan ekonomi turun," jelasnya.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Suahasil mengungkapkan pemerintah berupaya meningkatkan jumlah anggaran belanja negara melalui pelebaran defisit APBN. Dengan melebarnya defisit, maka ruang pemerintah menarik pembiayaan utang lebih luas lagi untuk memenuhi kebutuhan penanganan COVID-19.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, perekonomian Indonesia sudah merosot seperti utang RI tembus Rp 6.376 triliun (kurs Rp 15.600). Utang sebesar Rp 6.376 triliun itu terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 203,3 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 204,2 miliar dolar AS.
Hal tersebut sangat mengerikan melihat bagaimana Indonesia memiliki Kekayaan Alam yang melimpah ruah namun tak mampu menstabilkan ekonomi dalam negeri. Kekayaan Alam yang melimpah telah banyak dikuasai para kapitalis bahkan hampir seluruh kekayaan alam telah dikelola para kapitalis yang rakus akan kekayaan walhasil rakyat dalam negeri tinggal gigit jari merenungi nasib konsisten jadi buruh.
Semua itu tak lepas dari sistem yang diterapkan negeri ini, sistem sekuler kapitalis yang telah lama bertahta memudahkan para kapitalis masuk ke negeri untuk merampok kekayaan alam negeri ini. Wajar jika negara kehilangan pos pemasukan yang besar akibat kesalahan sistem tersebut. Kekayaan alam yang harusnya bisa dinikmati rakyat menjadi hal yang cukup dipandang namun tak berimbas pada kesejahteraan rakyat. Negara yang terlilit hutang sekian banyak tak akan mampu menanggung pembayaranya kecuali dengan melibatkan rakyat untuk terlibat didalamnya. Penderitaan rakyat sebelumnya ditambah pendemo Covid-19 yang gagal diatasi pemerintah tentunya semakin memperparah ekonomi sekaligus kehidupan rakyat.
Sistem yang rusak yang terbukti gagal menyejahterakan rakyat perlu diganti dengan sistem yang benar serta terbukti mampu menyejahterakan. Sistem itu hanya lahir dalam dari Islam.
Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Rasul saw. juga bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ
Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.
Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”
Alhasil, menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.
Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Dalam Islam Kekayaan Alam harus dikelola Negara dengan hasilnya secara keseluruhan dikembalikan lagi kepada rakyat. Penerapan aturan Islam dalam kehidupan perlu adanya perjuangan yang sungguh-sungguh dari kaum muslimin. Jika kita berdiam diri terhadap kerusakan yang terus terjadi maka kehidupan sejahtera dalam naungan Rahmat dari Allah tak kan bisa kita rasakan.