Oleh : Reka Nurul Purnama
(Pendidik Generasi dan Aktivis Dakwah)
Sudah terjatuh, tertimpa tangga pula. Pribahasa yang singkron dengan keadaan rakyat saat ini. Ketika terjadi aksi besar-besaran dari para buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat terkait keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada 5 Oktober lalu. Mereka bersuara sama yakni menolak UU tersebut. Sayang, bukannya para wakil rakyat mendengarkan aspirasi rakyatnya, mereka yang melakukan aksi malah dituduh dengan tuduhan bahwa aksi ini ditunggangi. Dilansir dari wartaekonomi.co.id, para mahasiswa di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), melaporkan Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto ke Polda NTB, Rabu (14/10/2020). Lalu ditambah pernyataan, Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menyebut, setiap aksi demonstrasi rawan ada pihak yang menunggangi. Adi pun meyakini bahwa unjuk rasa menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja beberapa waktu lalu ditunggangi pihak tertentu. (Kompas.com).
Sudah beberapa kejadian yang pada ujungnya reaksi atau aksi dari rakyat sebagai warga negara terhadap keputusan pemerintah di tuding sebagai aksi yang ditunggangi.
Dimasa rezim yang sama, istilah ditunggangi seolah menjadi senjata untuk menciptakan framing negarif terhadap suara rakyat. Framing ini diciptakan dengan sedemikian rupa oleh semua kalangan termasuk media yang pro kepentingan penguasa, yang menginginkan masyarakat menjadi "gagal fokus" terhadap permasalahan yang ada. Seperti UU Cilaka yang sesungguhnya mengundang celaka bagi masyarakat luas, dan menguntungkan para pengusaha juga investor asing. Aksi atau penolakan dari masyarakat bukan ditanggapi dengan argumen yang masuk akal, atau ditanggapi dengan solusi terbaik yang tidak kontroversi yang juga lebih berpihak kepada rakyat, justru hal ini ditanggapi oleh pernyataan dari pihak pemerintahan yang menuding dengan tuduhan negatif seperti tuduhan ditunggangi, yang sebenarnya apa yang disampaikan itu keluar dari substansi permasalahan. Bahwa permasalahannya adalah masyarakat meminta pemerintah agar membatalkan atau merevisi Undang-Udang yang tidak pro terhadap rakyat secara keseluruhan.
Seolah-olah pemerintah bersembunyi dari setiap permasalahan yang dibuatnya sendiri dibalik kata "ditunggangi".
Demokrasi yang digambarkan sebelumnya bahwa sistem ini adalah sistem yang berpihak kepada rakyat, karena bersemboyan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pada kenyataannya tidak pernah melindungi dan mengutamakan kepentingan rakyat. Demokrasi kapitalisme dapat dilihat oleh siapa saja yang masih memiliki kejernihan berpikir, bahwa perundang-undangan yang lahir dari sistem ini sesungguhnya selalu berpihak kepada para pengusaha. Seperti yang diungkapkan MUI bahwa UU Cipta Kerja yang lebih banyak menguntungkan para pengusaha, cukong dan investor asing.
Inilah fakta demokrasi yang tidak berdaulat secara hakiki. Yang berdaulat adalah oligarki-elit penguasa dan pengusaha. UU disusun untuk kepentingan mereka atas nama rakyat. Dengan sistem ini rakyat bisa kian terpuruk. Ibarat mati di lumbung padi. (Media Umat)
Hanya dengan sistem Islam yang akan menerapkan aturan dari Sang Pencipta, yang tentunya adanya peraturan tersebut tidak akan berpihak kepada kalangan atas dan menjerat kalangan bawah. Sistem Islam adalah sistem yang menerapkan aturan yang adil karena datang dari Sang Maha Adil. So, jangan alergi dengan Islam, biar tidak cilaka!
Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
Opini