Oleh Trisna AB
Aktivis Muslimah
Pasca disahkannya dalam sidang paripurna yang
digelar DPR, Senin (5/10), Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) mendapat penolakan
dari berbagai kalangan masyarakat. Undang-undang ini dianggap tidak memihak
kepada rakyat serta berpotensi merusak lingkungan hidup. Salah satu aksi
penolakan pengesahan undang-undang ini datang dari Konferensi Serikat Buruh
Indonesia (KASBI) yang direncanakan pada tanggal 8 Oktober nanti akan melakukan
demonstrasi.
Selain KASBI, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa
Seluruh Indonesia (BEM SI) juga akan melakukan demontrasi pada hari kamis
(8/10/2020). Rencananya aksi ini akan diikuti oleh mahasiswa dari 300
universitas berbagai wilayah di Indonesia.
Koordinator Media Aliansi BEM SI, Andi Khiyarullah
mengatakan bahwa tanggal 8 oktober besok para mahasiswa akan datang dari
Kalimatan, Sulawesi, Sumatera, dan semuanya merapat ke istana. Mereka akan
menyuarakan penolakan UU Ciptaker yang dinilai tidak memihak rakyat. “Fokus
kita adalah bagaimana membuat Presiden Joko Widodo dalam membuat Perppu”,
lanjutnya. (cnn.indonesia,7/10/2020).
Menanggapi adanya rencana demonstrasi berskala
besar tersebut, Kapolri segera menerbitkan surat terkait pelarangan kegiatan
demo buruh pada 6-8 Oktober. Dalam surat itu Kapolri memerintahkan agar polisi
dapat bertindak mencegah demonstrasi buruh selama pandemi covid-19. Kemudian pihak
berwenang juga menyiagakan sebanyak 9.236 personel gabungan untuk mengamankan
aksi demonstrasi di beberapa lokasi di ibu kota.
Pada akhirnya lagi-lagi penguasa berupaya
membungkam suara rakyat dan bertindak represif. Sekalipun jika alasan
penjagalan aksi demonstrasi adalah adanya pandemi COVID-19 yang masih belum
terkendali, akan tetapi hal ini tidak menghilangkan fakta bahwa sesungguhnya
rezim tidak punya itikad untuk mendengarkan suara rakyat. Terlebih lagi rezim
justru menjadikan pihak kepolisian sebagai tameng untuk memuluskan kepentingan
penguasa. Padahal seyogyanya polri menjadi penjaga rakyat dan bertugas melayani
masyarakat.
Demokrasi yang katanya mengagung-agungkan suara
rakyat pada kenyataannya tidak banyak mendengarkan jeritan masyarakat. Bahkan
aksi demonstrasi yang sesungguhnya adalah salah satu sarana rakyat untuk menyampaikan
aspirasinya justru dibungkam dan tidak diindahkan. Pada akhirnya suara rakyat
hanya didengarkan dan dibutuhkan pada saat pencalonan pejabat. Dan sisanya
hak-hak rakyat untuk menyampaikan aspirasinya tidak akan sampai ke telinga para
wakil rakyat di kala mereka sudah berhasil memangku jabatan.
Hal ini wajar terjadi dalam Sistem kapitalis yang
menjadikan pemisahan agama dan kehidupan menjadi dasar penerapan hukumnya,
kemudian bertumpu pada sistem buatan manusia yang serba terbatas. Dimana
kemudian sistem semacam ini dibangun berdasarkan hawa nafsu para penguasa yang
tentu saja hanya akan memberi manfaat bagi pihak-pihak berkepentingan.
Berbeda dengan sistem islam, pemimpin (khalifah)
selalu berupaya memberikan perhatian besar terhadap setiap urusan rakyatnya.
Seperti halnya pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab. Beliau pernah menulis
surat kepada Abu Musa al-Asyari, yang isinya, “Amma ba’du, sesungguhnya para
pengurus (urusan umat) yang paling bahagia disisi Allah adalah orang yang
membahagiakan rakyat (yang diurus)-nya. Sebaliknya, para pengurus (urusan umat)
yang peling sengsara adalah orang yang paling menyusahkan rakyat (yang
diurus)-nya. Berhati-hatilah kamu agar tidak menyimpan, sehingga para penguasa
dibawahmu menyimpang..”(Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 15). Ini adalah sebagai
bukti bahwasanya pemimpin dibawah sistem
islam selalu berupaya untuk memberikan pelayanan terbaik terhadap rakyatnya
dengan dorongan ketakwaan kepada Allah Swt.
Apabila dalam penerapannya khalifah melakukan
kelalaian, dalam sistem khilafah ada mekanisme kontrol (muhasabah), dan check
and balance, baik yang dilakukan dari dalam maupun luar kekuasaan. Ada
Majelis Umat yang melakukan fungsi muhasabah. Ada Mahkamah Mazhalim yang
berfungsi menghilangkan kezaliman oknum penguasa, mulai dari khalifah sampai
pejabat negara terendah. Bahkan ketika
Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim tidak melaksanakan fungsinya, khilafah
membuka ruang kepada partai politik hingga ulama dan umat untuk melakukan
fungsi muhasabah, check and balance. Selain itu untuk menghilangkan
setiap bentuk kezaliman tanpa sisa, Islam membolehkan praktek munabadzah bi
as-sayf (mengangkat senjata) yang tentu saja berada dalam koridor penegakan
hukum-hukum syara.
Semua itu merupakan jaminan untuk memastikan
tegaknya sistem islam dengan benar, murni dan konsekuen di tengah-tengah
masyarakat, serta tegaknya keadilan dan hilangnya kezaliman. Wallahua’lam bish
showab