Demokrasi Anti Kritik




Oleh: Risma Aprilia 
(Aktivis Muslimah Majalengka)

Lembaga Indikator Politik Indonesia mencoba memotret kondisi demokrasi di Indonesia melalui survei opini publik. Salah satu yang menjadi variabel yakin hak menyatakan pendapat.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pihaknya menanyakan setuju tidaknya responden dengan adanya pernyataan bahwa warga makin takut dalam menyatakan pendapat.

"Hasilnya 21,9 persen sangat setuju; 47,7 persen agak setuju, 22 persen kurang setuju; dan 3,6 persen tidak setuju sama sekali," tutur Burhanuddin saat diskusi virtual, Minggu (25/10). (www.merdeka.com, 25/10/2020)

Demokrasi yang selama ini kita ketahui sangat kental dengan ajarannya, yakni kebebasan. Dalam demokrasi rakyat bebas berpendapat, bebas bertingkah laku, bebas berekspresi, dan kebebasan lainnya, bahkan bebas keluar masuk pindah agama dengan dalih menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia).

Namun, pada kenyataanya tidak semuanya diberi ruang kebebasan, yakni tidak adanya kebebasan bagi rakyat untuk bersuara mengeluarkan pendapatnya. Suara rakyat dibungkam. Sehingga jika ada rakyat yang berpendapat tidak sejalan dengan negara, maka tak sungkan langsung dipersekusi, dipenjarakan, bahkan dituduh sebagai golongan radikal, yang akan menghancurkan keutuhan negara.

Sistem demokrasi melahirkan negara korporasi dan negara polisi (represi). Mewadahi perbedaan hanya retorika. Terlihat dari kejadian kemarin saat mahasiswa melakukan aksi demo penolakan UU Ciptaker. Mereka disambut dengan gas air mata oleh aparat, bahkan ada tindakan kekerasan. Mahasiswa dipukuli sampai babak belur. Tak sedikit korban dari kejadian tersebut.

Fakta bisa berbicara bahwa watak demokrasi yang sebenarnya ialah membungkam sikap kritis rakyat. Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana juga pernah menyinggung gaya orba di rezim Jokowi saat mengkritisi dugaan teror pada diskusi yang diselenggarakan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dengan topik pemberhentian presiden berujung pembatalan. Menurutnya, kejadian itu menunjukkan karakter otoritarianisme yang kembali muncul.

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan terdapat tiga indikator yang bisa mengonfirmasi ragam tudingan publik bahwa rezim Jokowi identik dengan orba.

Pertama, pembatasan kebebasan sipil. Menurutnya, hal itu bisa dilihat dari cara pemerintah merespons kritik publik, baik dari langkah mengondisikan media massa hingga mengkriminalisasi aktivis. (www.cnnindonesia.com, 22/10/2020)

Berbeda dalam sistem Islam. Khilafah bukan negara anti kritik. Islam menetapkan standar dan batasan yang baku dalam menyikapi perbedaan pandangan antara rakyat dengan hukkam. Jika kritik tersebut masih berlandaskan sumber hukum Islam yakni Al-Qur'an dan Hadits maka bisa diterima oleh negara, namun sebaliknya jika bertentangan jelas akan ditolak. Tapi tidak dengan cara kekerasan.

Khalifah membiarkan rakyatnya untuk berpendapat, karena seorang Khalifah sendiri menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kekurangan dan kelemahan. Ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Beliau menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan surat An-nisa’ ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar.

Khalifah Umar tidak senantiasa menyalahkan wanita tersebut, karena memang pendapatnya benar sesuai dengan dalil dalam Al-Qur'an. Dan masih banyak lagi kritik yang diberikan kepada Khalifah pada masanya masing-masing oleh rakyatnya sendiri. Tapi tidak ada istilah membungkam suara mereka, Khalifah sendiri sendiri senang jika dirinya dikritik. Karena menyadari bahwa mengkritik dan memberi nasehat pada penguasa merupakan ajaran Islam.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat:

قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ إِمَامٍ جَائِرٍ

“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“ [HR. Imam Ahmad]

Wallahu'alam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak