Benarkah UU Cipta Kerja Telah Mengakomodir Aspirasi Buruh?



Penulis : Heni Satika
(Praktisi Pendidikan)


Gelombang demo ribuan buruh terus terjadi di berbagai kota di Indonesia, menolak RUU Ciptakerja yang baru saja disahkan oleh pemerintah pada hari Senin 5 Oktober 2020. Berbagai Aksi yang dilakukan berujung pada kericuhan.


Maraknya penolakan RUU Cipta kerja oleh berbagai pihak disinyalir terdapat banyak pasal yang merugikan pihak buruh. UU cipta kerja yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal dan disusun dengan metode omnibus law. Akan mempunyai pengaruh ke 1.203 pasal dan 79 undang-undang lainnya.


Beberapa pasal yang dianggap bermasalah antara lain:
Pasal 59 yang berpotensi menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Sehingga disini berpeluang menjadi karyawan kontrak seumur hidup. Selanjutnya, Pasal 79 terkait hak libur dalam sepekan yang dipangkas. Tidak adanya cuti hamil atau haid dan uang pesangon selama cuti.

Serta Pasal 88 yang mengatur terkait hak pengupahan pekerja. Dihapusnya standar upah yang diberlakukan sesuai dengan daerahnya. Ini memungkinkan untuk daerah yang biaya hidupnya tinggi seperti daerah ibukota provinsi akan mendapat gaji yang sama dengan daerah lainnya.Tidak adanya jaminan kesehatan dan pensiun dari perusahaan.

Berikutnya, penghapusan Pasal 91 mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayar upah sesuai ketentuan, dan Pasal 169 yang menghapus hak pekerja mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja.


Banyak pihak yang menolak RUU ini, tak membuat surut semangat pemerintah untuk mengesahkannya bahkan pengesahannya maju beberapa hari dari yang sudah dijadwalkan. Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, mengatakan bahwa demo yang dilakukan buruh tidak relevan dengan fakta dalam UU tersebut. Seharusnya buruh melihat RUU ini secara keseluruhan, karena banyak sekali aspirasi buruh yang diakomodir oleh UU ini.

Benarkah demikian?

Ada atau tidaknya RUU Cipta kerja ini sebenarnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan kepada kehidupan para buruh. Karena kesalahan mendasar yang terjadi pada sistem negara kita. Sistem demokrasi liberal yang melepaskan kewajiban negara untuk melayani penduduknya. Berupa layanan kesehatan, keamanan, dan hari tua secara gratis, justru mengalihkan kewajiban tersebut kepada perusahaan dan swasta asing.

Sistem kapitalisme yang akan selalu membuat buruh berada dalam jurang kemiskinan. Karena kesalahan tolok ukur yang digunakan menentukan gaji. Yaitu menggunakan living cost terendah. Sesungguhnya para buruh mendapatkan gaji hanya untuk bisa bertahan hidup. Terjadilah eksploitasi tenaga buruh oleh para pengusaha.

Dari sinilah kemudian muncul gagasan untuk pembatasan jam kerja, segala jaminan sosial, dan kebebasan untuk berkumpul dengan para buruh. Untuk menuntut hak-hak mereka yang tidak dipenuhi oleh perusahaan. Di sisi lain penguasa cuci tangan dari kewajiban mereka. Beginilah sitem demokrasi kapitalisme yang menjadi biang kerok segala permasalahan. Sehingga para buruh, seharusnya tidak hanya menolak RUU Cipta kerja ini, tetapi juga menolak pabrik yang memproduksi RUU ini yaitu sistem demokrasi karena disanalah masalah bermula.


Berbeda sekali dengan sistem Islam, negara yang memberikan jaminan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis tanpa memandang status sosialnya. Sehingga pengusaha tidak dibebani sesuatu yang bukan tanggung jawab mereka. Kemudian sistem ekonomi yang berstandarkan syara' dengan menggunakan mata uang emas. Tidak akan ada Inflasi sehingga upah buruh akan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.


Standar upah bukan berdasarkan living cost tetapi berdasarkan manfaat tenaga yang diberikan dan upah sepadan yang berlaku di masyarakat. Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam penentuan upah maka para pakar yang akan menentukan upah mereka berdasarkan upah yang biasa berlaku di masyarakat.


Sedangkan hak untuk menyuarakan aspirasinya tetap bisa disalurkan melalui berbagai organisasi yang didirikan. Karena hak mengoreksi penguasa adalah hak yang dijamin oleh syara’. Tetapi untuk pengurusan masalah perburuhan tidak akan diserahkan pada serikat pekerja. Karena itu kewajiban penguasa untuk mengurusnya.


Dari sini kita lihat betapa sistem Islam memuliakan para buruh dan tidak membebani pengusaha akan sesuatu yang bukan kewajibannya. Saatnya para buruh dan pengusaha bersama-sama memperjuangkan Islam dan Khilafah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak