Benarkah Negara Demokrat Menjamin Kebebasan Berpendapat?



Oleh: Melitasari*


Lembaga Indikator Politik Indonesia mencoba memotret kondisi demokrasi di Indonesia melalui survei opini publik. Salah satu yang menjadi variabel yakin hak menyatakan pendapat.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pihaknya menanyakan setuju tidaknya responden dengan adanya pernyataan bahwa warga makin takut dalam menyatakan pendapat. Indikator pun menjumlahkan hasil survei sangat setuju dengan agak setuju. Hasilnya, mayoritas setuju bahwa kebebasan sipil mulai terganggu. (Merdeka.com 25/10/20)

"Survei menunjukkan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat 79,6 persen, makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes 73,8 persen, dan aparat dinilai semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa 57,7 persen," terang Burhanuddin.

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.

Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. (Sumber Wikipedia)

Kebebasan berpendapat juga merupakan bagian penting dari sebuah demokrasi, kebebasan ini memiliki dasar hukum yang telah diatur dalam pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang mengatakan bahwa kebebasan bertanggungjawab dan bertindak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum.

Namun nyatanya demokrasi hanya melahirkan negara korporasi dan negara polisi (represi) menampung perbedaan hanya retorika, fakta jalanan kerap kali tak sejalan. Kebebasan berpendapat makin dibatasi, apalagi untuk yang tak sefrekuensi ancamannya adalah persekusi. Hal demikian menunjukan tidak adanya kebebasan berpendapat tanpa ancaman.

Berbeda halnya dengan demokrasi, Khilafah yang menerapkan Islam sebagai landasannya akan menjunjung tinggi dan mengapresiasi pendapat umat terhadap Khalifah dan jajarannya. Sebab kritik merupakan ajaran Islam yaitu tentang beramar ma'ruf nahi mungkar sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an surah Al-Imran:110

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّا سِ تَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ ۗ 
"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 110)

Bahkan Rasulullah pun dengan tegas mengatakan kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. At-Thariq menuturkan sebuah riwayat:
"Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah S., seraya bertanya 'Jihad apa yang paling utama?' Rasulullah Saw. menjawab, 'Kalimat Haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang dzalim'" (HR. Imam Ahmad)

Budaya kritik atau muhasabah inilah yang dihidupkan dan dijaga peradaban Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Rasulullah Saw sebagai manusia sempurna pun amat menjaga dan menerima kritik atas kebijakan yang tidak dituntun wahyu. Maka sebagai pemimpin yang beragama Islam tidak sepatutnya anti atas kritik.

Para Khalifah sepeninggal Rasulullah seperti Abu Bakar As-sidiq dan Umar bin Khattab pun mengikuti sikaf Rasulullah Saw dalam menjaga budaya muhasabah (koreksi) ini. Abu Bakar ketika diangkat sebagai Khalifah menggantikan Rasulullah Saw, ia berkhotbah meminta rakyat untuk mengkritiknya.

"Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukan karena aku adalah yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku!" (Abu Bakar Ra.)

Dalam pandangan Islam politik negara adalah meriayah/mengatur urusan umat dengan syariat Allah SWT. Kekuasaan adalah perantara untuk menerapkan syariah secara kaffah untuk kemaslahatan umat. Meskipun aturan yang dipakai adalah aturan Allah yang maha sempurna.

Namun pada dasarnya seorang Khalifah hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah. Maka amat penting koreksi ini dilakukan untuk meluruskan dan atau mengoptimalisasi kinerja Khalifah yang akan dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat.

Sikap kritis masyarakat terhadap pemimpinnya adalah bentuk rasa cinta agar pemimpin tidak tergelincir pada keharaman yang tidak Allah ridhai. Maka jelas koreksi bukanlah suatu ancaman yang seharusnya tidak perlu ditakuti oleh pemimpin negeri.

Namun berkaca pada fakta hari ini rakyat mulai enggan mengkoreksi atau berpendapat sebab kebebasan sipil mulai terancam. Suara-suara yang dianggap sumbang dibungkam. Jadi jangankan mengkritik dengan mengangkat pendang seperti pada masa Khalifah Umar, mengkritik dengan kata-kata saja bisa berujung penjara.


*(Member Revowriter)

Ilustrasi Creative market

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak