Oleh Firda Umayah
Pandemi Covid-19 masih melanda dunia khususnya Indonesia. Berbagai upaya kebijakan pemerintah dalam menangani wabah nampaknya belum bisa membuat jumlah penderita wabah ini menurun. Sayangnya disaat pandemi, pemerintah mengurungkan niat untuk melaksanakan pilkada serentak yang akan diadakan akhir tahun ini.
Namun, meskipun demikian, ada nasihat penting yang disampaikan untuk masyarakat negeri muslim ini agar memperbanyak sedekah, istighfar dan bertaubat. Hal itu disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat membuka Muktamar IV Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) secara virtual pada Sabtu 26 September 2020 (kompas.com/26/09/2020). Lantas, apa hubungannya antara pandemi ini dengan seruan sedekah, istighfar dan taubat?
Dalam pandangan Islam, sedekah merupakan bagian dari ibadah dan perintah Allah swr. Terdapat beberapa ayat dan hadits Rasulullah saw yang berkenaan dengan sedekah. Salah satunya adalah firman Allah swt yang artinya, "Hai orang-orang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rizki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim." (TQS. Al Baqarah : 254).
Rasulullah saw juga bersabda, "Sedekah menutup 70 pintu bala dan memanjangkan umur. Bersegeralah bersedekah, sebab bala bencana tidak bisa mendahului bencana (HR. Al Baihaqy). Sedekah diyakini umat Islam mampu menolak bala. Namun, apakah cukup hanya dengan bersedekah lantas negeri ini dapat terbebas dari bala' termasuk wabah pandemi saat ini?
Seruan Presiden untuk bersedekah juga diiringi dengan seruan taubat. Lalu, apa yang dimaksud dengan taubat? Secara bahasa, taubat artinya kembali. Secara istilah, taubat adalah kembali kepada Allah swt Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Menyerahkan diri dan menyesali perbuatan maksiat dengan sebenar-benarnya. Taubat juga merupakan bagian dari ibadah dan perintah Allah swt.
Terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang taubat. Salah satunya adalah firman Allah swt yang artinya, "hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya...." (TQS. At Tahrim : 8). Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa taubat yang murni (taubat nasuha) adalah jika ada seseorang yang melakukan perbuatan dosa maka ia tidak akan mengulanginya lagi selama-lamanya. Perbuatan dosa yang dimaksud disini adalah perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam.
Oleh karena itu, seseorang yang telah melakukan taubat nasuha maka dia harus menjalankan seluruh ajaran Islam. Adapun terkait pandemi, Rasulullah saw sebagai pengemban risalah Islam telah mencontohkan bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan pemimpin muslim dalam menangani wabah. Melakukan karantina daerah asal munculnya wabah, memisahkan antara orang yang sakit dengan yang sehat, menyembuhkan penderita wabah yang sakit, memenuhi kebutuhan hidup warga yang dikarantina, dan lain sebagainya merupakan solusi Islam yang diterapkan Rasulullah saw beserta para sahabat.
Walhasil, adanya seruan taubat nasuha sekala nasional dimasa pandemi tentu saja harus diiringi dengan penerapan syariat Islam. Penerapan syariat Islam sebagai solusi penanganan terhadap pandemi juga harus dilaksanakan secara kaffah (keseluruhan). Jika tidak, bagaimana mungkin negara akan mampu membiayai hidup dan memberikan jaminan kesehatan masyarakat tanpa pengelolaan sistem ekonomi berbasis syariah? Bagaimana mungkin negeri ini akan terbebas dari api neraka jika aturan yang diterapkan justru bertentangan dengan syariat Islam? Bagaimana mungkin pula kaum muslimin di negeri ini dapat melaksanakan syariat Islam secara kaffah tanpa adanya institusi negara yang menerapkannya?
Tags
Opini