ANTARA PALAK DAN PAJAK PENULIS



(Oleh : Ummu SafiaUwais)

Tere Liye adalah seorang yang sukses dalam dunia literasi Indonesia. Dia dikenal sebagai penulis novel-novel best seller. Novel pertama Tere Liye berjudul Hafalan Sholat Delisa. Novel ini booming pada tahun 2015 dan disambut baik oleh pembaca Indonesia. Bahkan karyanya itu sudah diangkat ke layar lebar.

Namun dibalik kesuksesannya ternyata Tere Liye sering mengeluhkan tingginya pajak royalti penulis dan pembajakan karyanya. Pembajakan ini dilakukan secara online maupun offline.  
Dikutip dari akun Facebook Tere Liye “Buku Tere Liye yang dijual di Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Lazada, dll dengan harga Rp 20.000 s/d Rp 30.000, nyaris 100% bisa dipastikan bajakan. Kalian dungu sekali kalau sampai membelinya. Kalian membuat kaya penjual buku bajakan. Jika kalian tidak punya uang, PINJAM bukunya ke teman, perpus, dll. Atau baca di ipusnas (aplikasi online Perpustakaan Indonesia). GRATIS. Jangan malah mensupport tukang bajak, ….” (Tere Liye). 

Keluhan serupa banyak ditemukan di media sosial penulis-penulis profesional. Mereka menyesalkan tindakan pembajakan karya mereka. Bukan tanpa alasan. Mereka jelas dirugikan. karena Jika industri buku semrawut, penerbit bisa kolaps. Sebab harga buku bajakan lebih murah ketimbang buku original. Orang akan memilih buku bajakan yang murah dibanding membeli langsung ke penerbit. Hal ini bisa membuat penulis kehilangan semangat berkarya. Selain itu, tahun 2017 silam Tere Liye juga sempat mengeluhkan tingginya pajak royalti penulis. Sehingga ia memutuskan kontrak dengan beberapa penerbit. 

Maraknya kasus pembajakan dan kebijakan pajak royalti yang tinggi bagi penulis adalah sebuah ironi. Pasalnya penulis adalah elemen penting dalam kemajuan peradaban. Tanpa penulis ilmu pengetahuan tidak akan sampai ke masyarakat. Karena hakikatnya tugas seorang penulis adalah menyampaikan dan menyimpan informasi, menyampaikan gagasan, ide dan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. 

Pembajakan buku di larang di Indonesia. Bahkan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal 9 ayat (3)  berbunyi  “Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan”.
 Pasal 10 dari undang-undang yang sama berbunyi “Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya”.

Namun pada kenyataannya Undang-Undang tersebut diam saat adanya pelanggaran. Padahal pembajak menjual hasil bajakannya menggunakan marketplace-marketplace resmi. Sangat mudah melacak kecurangan ini jika saja Negara lebih serius. 

Sama halnya dengan pungutan pajak royalti yang tinggi terhadap penulis. Seperti yang disampaikan Tere Liye  melalui media sosialnya.  "Penulis buku membayar pajak 24 kali dibanding pengusaha UMKM, dan dua kali lebih dibanding profesi pekerjaan bebas. Dan jangan lupakan lagi, penulis itu pajaknya dipotong oleh penerbit, itu artinya, dia tidak bisa menutup-nutupi pajaknya.” Tulisnya. 

Dari kebijakan ini negara terkesan memalak profesi penulis. Padahal jika direnungkan penulis memberikan kontribusi yang besar terhadap Negara. Mereka memberikan bacaan-bacaan berkualitas, menceritakan sejarah dan kisah masa lalu. Kita tidak akan mengenal ilmu pengetahuan dan sejarah tanpa adanya penulis. Kita tidak akan pernah tau peristiwa-peristiwa besar dimasa lalu tanpa penulis.

 Untuk memberikan bacaan terbaik bagi umat tentunya melalui proses  berliku. Diperlukan riset yang panjang. Bukankah itu sesuatu yang harus diapresiasi oleh Negara dan harus diberi reward?  Bukan malah dipalak dengan pajak. 

Lalu bagaimana Islam memandang profesi penulis?
Islam adalah agama yang peduli terhadap ilmu pengetahuan. Sepanjang sejarah peradaban Islam, banyak dikisahkan bagaimana Negara memuliakan aktor-aktor literasi. Khalifah Al-Ma’mun, dikenal dengan kepeduliannya terhadap ilmu pengetahuan. Pada masa kepemimpinannya khalifah membayar penulis seharga bobot buku yang ditulisnya. Dikisahkan bahwa seorang dokter bernama Ibn Hunayn ibn Ishaq menggunakan kertas yang tebal untuk tulisannya. Sehingga bobot bukunya sangat berat. Saat itu ia mendapatkan bayaran emas yang sangat banyak. 

disamping itu, khalifah memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan setiap profesi. Untuk profesi penulis Negara akan menyediakan buku, tinta dan biaya riset tulisannya. Begitulah perhatian khalifah terhadap umat. 

Rosulullah pernah bersabda :
“Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji/upah/imbalan), maka apa yang diambil selain dari itu adalah kecurangan” (HR. Abu Daud).

Begitulah gambaran ketika Islam diterapkan secara totalitas. Tidak pernah ditemukan dalam sejarah peradaban Islam khalifah memalak aktor-aktor literasi. Hanya Islam yang mampu memuliakan penulis. Wahai penulis, Tidakkah rindu dengan kehidupan Islam?

#revowriter
#menyalabersamarevowriter
#kompaknulis
#TDOPPart4
#day3

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak