Ulama Mulia Dalam Naungan Peradaban Islam



Oleh: Ummu Farah (Narasumber Kajian WAG MQ Lovers Bekasi

Baru-baru ini, tepatnya ahad 14 September 2020, kita dikejutkan oleh kabar sangat menyakitkan, Ulama Besar Ali Saleh Mohammed Ali Jaber (Syekh Ali Jaber) ditusuk seseorang saat sedang mengisi kajian di acara Wisuda Tahfidz Al Qur'an di Masjid Falahudin Lampung. Alhamdulillah beliau selamat karena bisa menangkis tusukan pisau tersebut yang mengenai lengan kanannya. (tempo.co, 15 September 2020)

Yang mengherankan, seketika berita media memberitakan bahwa si penyerang ternyata mempunyai kelainan jiwa alias gila, hanya berbekal dari pengakuan ayah penyerang. Seketika juga, banyak komentar yang berseliweran dari netizen, salah satunya mengaku bahwa ia adalah tetangga dari si penyerang dan menyampaikan bahwa penyerang tidak gila, tapi pengangguran yang istrinya baru melahirkan. Bahkan si tetangga ini mengira, karena itulah kenapa si penyerang ini mau diperintah untuk membunuh Syekh Ali Jaber.

Fakta dari "tetangga" si penyerang ini juga diperkuat dengan bukti-bukti foto yang beredar di media, yang membuktikan bahwa si penyerang normal-normal saja, seperti ia bisa makan bakso bareng teman-temannya dan ada foto saat dia duduk di dekat laptop. Juga ada pengakuan dari RSJ Lampung, yang menyatakan bahwa si penyerang ini tidak pernah menjadi pasien disana. (sumeks.co, 15 September 2020)

Kejadian yang menimpa Syekh Ali Jaber ini hanyalah salah satu peristiwa yang menimpa ulama di Indonesia. Kejadian yang lain juga terjadi dengan motif yang hampir sama yaitu pelakunya orang sakit jiwa. Bahkan merenggut nyawa para ulama ini, antara lain:

* Menimpa Ustadz Prawoto (Komandan Brigade PP Persis) yang dihajar sampai meninggal oleh tetangganya sendiri bernama Asep Maftuh pada tanggal 1 Februari 2018. Polisi menyatakan bahwa pelaku mengalami gangguan jiwa, tapi di persidangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menyatakan bahwa Asep tidak terbukti gila dan menjatuhkan vonis 7 tahun penjara.

* Menimpa Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah, Kyai Umar Basri yang dipukul dengan kayu secara bertubi-tubi oleh Asep pada 27 Januari 2018 usai menunaikan sholat subuh. Pak Kyai terluka parah sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Lagi-lagi pelaku ini dianggap gangguan jiwa.

* Menimpa Ustadz Yazid Nasution seorang Imam Masjid Al Falah Pekanbaru pada 23 Juli 2020 yang diserang pelaku yang stress dengan alasan kecewa karena tidak mendapat solusi dari konsultasinya dengan ustadz Yazid.

Kejadian-kejadian mengenaskan yang menimpa para ulama ini hanya sebagian kecil dari deretan panjang rendahnya bangsa ini dalam memandang peran ulama. Perendahan ini adalah lanjutan dari sejarah panjang 'pertarungan sengit' antara faham Islam dan faham sekuler yang ada di negeri ini. Para penganut sekuler ini, terus berupaya menjauhkan ide-ide Islam dari benak umat. Mereka berupaya menancapkan Islamophobia. Pada tahun 1997, Runnymede Trust dari Inggris mendefinisikan Islamophobia sebagai "rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga pada semua Muslim". Hal tersebut juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap Muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa (wikipedia).

Dari awal berdirinya negara ini sudah terjadi pertarungan ideologi antara kubu sekuler-kapitalis dengan kubu Islam. Salah satu tokoh sekuler Soepomo menolak Islam sebagai dasar negara. Ia menegaskan kembali pandangan Hatta yang menyatakan urusan negara harus dipisahkan dari urusan Islam. Soekarno pun memperkuat dengan argumentasi yang hampir sama. Tapi ia memberikan janji kepada kalangan Islam untuk membahas rumusan dasar negara di Dewan Konstituante. 

Dalam Sidang Konstituante, Blok Islam mendorong Islam sebagai dasar negara melawan Blok Pancasila. Dalam Sidang Konstituante, perwakilan NU, Kyai Ahmad Zaini menyatakan bahwa Pancasila adalah "rumusan kosong" yang ambigu dan dapat mengakui keberadaan "penyembah pohon". Sementara itu perwakilan NU lainnya, Saifuddin Zuhri menyatakan bahwa sila pertama Pancasila kabur maknanya dan dapat ditafsirkan oleh tiap kelompok agama sesuai keinginan mereka sendiri. Sayangnya perdebatan belum usai, Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan membentuk DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang seluruh anggotanya ditunjuk oleh Soekarno, termasuk hadirnya wakil Angkatan Bersenjata dalam DPRGR sehingga mengabsahkan keterlibatan militer dalam politik. (Media Umat edisi 269, 10-23 Juli 2020)

Keterlibatan Militer dalam politik ini sudah pasti ditujukan untuk membungkam suara vokal dari kalangan Muslim. Dari sini juga nampak, bahwa ada Islamophobia atau kebencian terhadap Islam dari rezim di masa itu. Tapi yang pasti, fakta sejarah sudah mencatat tentang para pahlawan yang sesungguhnya yaitu para kyai dan pejuang Islam yang memperjuangkan Islam di tengah gencarnya upaya kaum sekuler menjauhkan bangsa ini dari Islam.

Kebencian musuh-musuh Islam di negeri ini terhadap para ulama, juga nampak jelas dari fakta sejarah di tahun 1948 dengan terjadinya pembantaian terhadap ulama dan santri. Seorang antropolog Amerika, Robert Jay, yang mulai tahun 1953, turun ke Jawa Tengah menggambarkan kekejaman PKI. “Mereka menggunakan kekuatan mereka untuk melenyapkan bukan saja para pejabat pemerintah pusat, tapi juga penduduk biasa. Mereka itu terutama ulama-ulama tradisionalis, santri dan lain-lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada Islam. Mereka ini ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, kadang-kadang ketiga-tiganya sekaligus. Masjid dan madrasah dibakar, rumah-rumah pemeluknya dirampok dan dirusak.” (republika.co.id, 2 Oktober 2020)

Yang juga tidak boleh dilupakan oleh kaum muslimin di tanah air adalah tragedi Tanjung Priok (1984) dan tragedi Talangsari-Lampung (1989). Pembantaian besar-besaran pada kaum muslimin dan ulama-nya dengan korban wafat ratusan orang yang tak berdosa. Mereka diberondong senjata oleh aparat, hanya karena berupaya untuk mempertahankan dan memperjuangkan aqidahnya. Sebagian besar dari mereka, jenazahnya tidak ditemukan sampai sekarang (tirto.id, 07/02/2020)

MUI (Majelis Ulama Indonesia) pun tak luput dari ujaran kebencian dari pembenci Islam. Salah satunya adalah dari Teddy Gusnaidi, anggota Dewan Pakar Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI) yang menyatakan dalam akun twitternya,"MUI itu LSM (Lembaga Sosial Masyarakat). Sama seperti LSM lainnya, gak ada bedanya. MUI itu cuma LSM urusan ulama, tapi pengurusnya belum tentu ulama". Serangan itu ia lontarkan gara-gara MUI menolak sertifikasi penceramah yang dicanangkan Kementerian Agama. (rmco.id, 13 September 2020)

Penyerangan terhadap ulama secara verbal maupun fisik akan terus terjadi apabila para pembenci Islam masih dibiarkan menjadi penguasa dunia. Mereka menebarkan fobia atas Islam sehingga masyarakat termasuk kaum muslim sendiri takut terhadap ide Islam. Yang mereka inginkan adalah orang Islam menjauhi ajaran agamanya yang paripurna dan ghirah umat Islam melemah dalam memperjuangkan agamanya sendiri.

Hal di atas, sudah pasti bukan hal yang kita inginkan. Umat Islam harus cerdas untuk menemukan siapa sebenarnya common enemy bagi mereka. Musuh bersama kaum muslimin yang sebenarnya adalah para pengusung sistem di luar Sistem Islam yaitu pengusung kapitalis dan pengusung sosialis. Mereka tidak akan rela, kaum muslimin menjalankan Islam secara kaffah karena itu akan mengancam hegemoni mereka. Kenapa mereka menyerang para ulama? Karena para ulama adalah ujung tombak bagi tegaknya bangunan Islam yang kokoh. Allah SWT menjanjikan bagi para pengemban dakwah ini sesuatu yang luar biasa. Seperti dalam firman Allah SWT:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

"Orang-orang yang beruntung" yang ada dalam ayat tersebut adalah jaminan Allah SWT bagi mereka yang menyeru kebajikan. Kebajikan disini sudah pasti maksudnya adalah ajaran Islam. Tidak perlu ada rasa takut dan bimbang bagi para pejuang Islam dalam menyampaikan kebenaran.

Hanya di bawah Syariat (Hukum) Allah sajalah, alim ulama dimuliakan. Seperti kisah kekhilafahan di masa Sultan Sulaiman Al Qanuni. Sultan Sulaiman sangat menghormati para ulama, setiap akan mengambil kebijakan, ia mencari para ulama untuk meminta nasehatnya. 

Saat beliau wafat dalam pertempuran “Zaktor” dimana khilafah Utsmaniyah sedang mengadakan ekspansi ke wilayah Wina, pasukan kaum muslimin sepakat utk membawa pulang jasadnya ke Istambul.

Dalam perjalanan, ditemukan sebuah wasiat yang telah dituliskan oleh Sultan bahwa ia telah membuat sebuah kotak kecil yang akan dibawanya saat dikuburkan. Para ulama keheranan saat membaca wasiat tersebut. Mereka menyangka bahwa kotak tersebut dipenuhi dengan harta yang sangat berharga. Para ulama bersepakat bahwa Sultan tidak boleh membawa apapun ke dalam lubang kuburnya dan diputuskan untuk membuka kotak tersebut.

Para ulama sangat dikagetkan dengan isi kotak tersebut saat dibuka. Ternyata kotak yang diwasiatkan Sultan Sulaiman berisi fatwa-fatwa para ulama yang pernah dimintanya. Syaikh Abu Saud (pemimpin para ulama) menangis sesenggukan sambil mengatakan, “Engkau telah menyelamatkan dirimu wahai Sulaiman. Langit yang mana lagi yang bisa kami jadikan sebagai atap, dan bumi yang mana lagi yang dapat kami jadikan untuk berpijak jika seandainya kami semua salah dalam fatwa-fatwa kami?!”

Kisah di atas hanya salah satu bukti dari sekian banyak bukti bahwa Kekhilafahan Islam sangat memuliakan ulama. Khilafah Islam yang begitu memuliakan ulama, membuat para ulama ini tidak segan apalagi takut apabila ingin mengkritisi pemimpinnya. Khilafah membuka jalan bagi seluruh umat, bahwa yang harus mereka takuti hanyalah Allah SWT. Seperti apa yang terjadi pada ulama besar Imam Al Buawaithi (murid kesayangan Imam Syafi'i), yang dipaksa oleh Gubernur Mesir untuk memfatwakan bahwa Al Qur'an itu makhluk. Beliau tetap menolak dengan tegas sehingga dihukum dengan menggantung rantai besi di leher dan kakinya. Yang beliau katakan begitu mengharukan,"Aku lebih memilih mati dalam kondisi terikat dengan rantai-rantai besi ini, agar suatu hari nanti, orang-orang mengerti bahwa telah mati dalam mempertahankan keyakinan ini, seseorang yang terbelenggu dalam ikatan-ikatan besi". Beliau wafat tetap dengan tangan terikat di dalam penjara. (al-waie edisi 1-31 Januari 2020)

Islam memberi kesempatan seluas-luasnya manusia untuk berkarya tanpa ada tekanan-tekanan yang membuat ketakutan, termasuk juga kepada ulama. Para Ulama dengan keilmuannya tentang agama dan kehidupan mampu menjadi cahaya bagi umat termasuk umara'nya.

Butuh keberanian dari kita semua untuk mendobrak hegemoni jahat dari musuh-musuh Islam dengan tetap berada pada jalan dakwah. Karena dengan inilah, kita, umat Islam akan hidup mulia. Bijak kiranya kita untuk mengingat apa yang disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyum al Jauziyah dalam kitab al Fawaid. "Jalan menuju Allah adalah jalan dimana Adam kelelahan, Nuh mengeluh, Ibrahim dilempar ke dalam api, Ismail dibentangkan untuk disembelih. Yusuf dijual dengan harga murah dan dipenjara selama beberapa tahun. Zakaria digergaji. Yahya disembelih. Ayub menderita penyakit. Daud menangis melebihi kadar semestinya. Isa berjalan sendirian dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam mendapatkan kefakiran dan berbagai gangguan. Sementara kalian ingin menempuh dengan bersantai ria dan bermain-main? Demi Allah takkan pernah bisa terjadi."

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak