Pandemi tak jua berakhir. Beberapa daerah memberlakukan kembali PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Euforia warga yang sempat terlihat dengan mulai ramainya kawasan wisata dan kuliner, serta kembali berseminya harapan masyarakat agar kembali ada perbaikan ekonomi, seakan kandas.
Meski demikian, nampaknya sektor ekonomi masih menjadi perhatian utama. Arah pandang kapitalisme memang selalu mengedepankan aspek ekonomi. Wabah yang tak kunjung selesai terus memunculkan beragam persoalan dan polemik. Ancaman resesi ekonomi seakan sudah didepan mata.
PHK nampaknya akan terus bertambah. Kesulitan kian memuncak. Sayangnya, penguasa nampaknya masih tersibukkan dengan wacana pemulihan ekonomi, tetapi minim dalam menamggulangi pandemi.
Jauh panggang dari api. Hendak menuntaskan masalah ekonomi tanpa upaya penyelesaian pandemi, akan menjadi sia-sia. Mengapa? Bisa dibayangkan, misalkan saja ketika meningkatkan usaha kecil mikro, tapi daya beli masyarakat semakin rendah. Modal akan habis begitu saja.
Ketidakdisiplinan masyarakat masih dianggap sebagai penyebab masih bercokolnya wabah. Jakarta, CNN Indonesia (06/09/2020) Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito merespons kabar Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19 yang penuh. Wiku mengatakan kapasitas rumah sakit tak akan pernah cukup kalau disorot terus.
Menurut Wiku, saat ini sebaiknya seluruh pihak menyoroti perilaku masyarakat yang masih kurang disiplin menerapkan protokol kesehatan sehingga masih menyebabkan penularan virus corona.
Wabah yang berlangsung lama dan menghantam laju ekonomi masyarakat, tentu akan menyebabkan kejengahan masyarakat. Pembatasan aktivitas tanpa adanya jaminan pemenuhan kebutuhan tentu sangat tidak diharapkan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut negara dengan sistem otokrasi dan oligarki yang terpusat pada satu atau sekelompok orang akan lebih mudah menangani Covid-19. “Seperti China dan Vietnam mereka menangani dengan lebih efektif karena mereka menggunakan cara-cara yang keras karena pemegang kedaulatan bukan rakyat, bukan demokrasi,” ungkapnya.
Pemerintahan otoriter yang bersifat represif justru akan menimbulkan berbagai masalah baru dan membahayakan. Ekonom Faisal Basri mengungkapkan pernyataan Tito Karnavian yang menyebut otokrasi-oligarki efektif tangani pandemi, sama saja dengan merindukan pemerintahan otoriter seperti orde baru. (pojoksatu.id,5/9/2020).
Sesungguhnya, negeri ini dan seluruh dunia membutuhkan sistem alternatif yang sahih. Sistem alternatif tersebut akan mewujudkan terselenggaranya fungsi negara secara konsisten oleh penguasanya. Sebagai pengayom dan penanggung jawab, negara akan bekerja optimal mengatasi krisis dan menyosialisasikan protokol kesehatan untuk dijalankan rakyatnya.
Berbeda dengan bagaimana Islam memandang dan menangani masalah pandemi. Wabah atau penyakit menular, sudah dikenal pada zaman nabi Muhammad saw. Pada masa itu, wabah yang cukup dikenal adalah pes dan lepra. Nabi pun melarangnya untuk memasuki daerah yang terkena wabah. Maka lockdown total adalah solusi Islam yang akan diterapkan.
Pemenuhan kebutuhanpun tidak akan terkendala. Pengelolaan sistem ekonomi Islam akan memberikan jaminan terpenuhinya seluruh kebutuhan umat di kala lockdown.
Dengan demikian, akan terwujud kesejahteraan bagi seluruh alam, sebagai janji yang pasti dari Allah SWT., yang artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (TQS Al An-Anbiyaa: 107)
Oleh karena itulah, penerapan Islam yang sempurna dalam bingkai Khilafah akan mampu mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan pemecahan persoalan-persoalan yang sedang melanda umat.
Penulis : Linda Maulidia, S.Si
Tags
Opini