Oleh : Nyimas Yulia Susanti
DI tengah pandemik Covid-19 sedang merajalela di negeri kita ini, persiapan pemindahan ibukota negara nampaknya terus dijalankan oleh pemerintah. Banyak pihak menilai program ini tidak tepat dilakukan pemerintah dalam kondisi masyarakat yang sedang berjuang melawan Covid-19. Melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan memastikan pemindahan ibukota tetap berjalan (bisnis.tempo.com). Bahkan kementrian terkait sudah berkomonikasi dengan beberapa investor untuk pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur. Ini mengundang reaksi antara lain dari para analis politik. Pernyataan Luhut ini seolah menutup mata terhadap kasus pandemik corona, kata Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia, Maksimus Ramses Lalongkoe kepada Kantor Berita Politik RMOL (Minggu, 29/3/2020).
Dalam kondisi pandemik saat ini seharusnya pemerintah harus lebih peka terhadap kekhawatiran yang dialami masyarakat. Sebab saat ini, wabah virus corona terus meluas. Berdasarkan data perhari ini, jumlah pasien yang dinyatakan positif corona mencapai 1.986 dan pasien meninggal 181 (Kementrian Kesehatan, 3 April 2020). Pemerintah memang sedang mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghadapi pandemi covid -19, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 62,3 triliun untuk penanganan covid -19. Anggaran ini berasal dari realokasi APBN,baik yang dilakukan oleh kementrian/lembaga dipusat maupun daerah. Besarnya alokasi anggaran penanganan covid-19 tidak menutup kemungkinan mempengaruhi anggaran pemindahan ibukota . Sebab sumber dana sama-sama dari APBN. Berdasarkan hasil kajian kementrian PPN/Bappenas, pemindahan ibukota negara akan menelan anggaran Rp 466 triliun. Dari kajian itu, Rp 466 triliun ini tidak hanya didapatkan dari APBN, tetapi juga Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan Swasta. Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi memastikan proses persiapan pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur masih terus berjalan.
Meskipun di tengah pandemik virus corona dan saat ini pemerintah tengah melakukan komunikasi intens dengan berbagai calon investor. Saat ini persiapan pemindahan ibukota masih on the track. Tim dari Komenko Maritim dan Investor bersama Kementrian BUMN dan Kementrian Keuangan juga terus melakukan komunikasi dengan berbagai calon investor dan mitra di joint venture untuk pengembangan ibukota ini. Berbagai opsi pemindahan ibukota negara (IKN) masih terus dipertimbangkan oleh pemerintah, sehingga pada saatnya nanti akan diputuskan secara bersama-sama baik pemerintah maupun DPR RI.
Seharusnya kondisi yang sangat memprihatinkan ini akibat dari wabah pandemi covid-19 ,pemerintah harus lebih fokus dalam penanganan COVID-19 dengan merealokasikan anggaran pemindahan ibukota baru untuk mnghadapi korban dan dampak ekonomi dari virus corona. Karena yang terpenting saat ini adalah kesadaran kolektif bersama terutama pemerintah dalam melawan penyebaran Virus Corona bersama dengan dampak buruknya kehidupan sosial ekonomi rakyat, kesehatan dan keselamatan jiwa. Peran pemerintah pada saat ini, ditengah-tengah wabah covid -19 ini sangat dibutuhkan oleh rakyat untuk bersatu menghentikan dan memutuskan mata rantai penularan virus ini secepatnya dan dengan sebaik-baiknya (JPNN.Com,Minggu 29/3). Sikap dan Kebijakan pemerintah seperti ini lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha dan asing dalam rencana pemindahan ibukota. Alangkah eloknya seorang pemimpin negara menunda penggunaan rencana anggaran tersebut dan lebih diperioritaskan untuk menolong ekonomi rakyat dan memulihkan perekonomian nasional. Tapi lagi – lagi syahwat bisnis dan keuntungan bagi kroni telah mengalahkan kebutuhan dan kepentingan rakyat ditengah pandemi Covid-19.
Pertimbangan pengambilan kebijakan
Kebijakan Pemerintah dalam rencana pindah ibukota di tengah wabah Covid-19 ini perlu dipikirkan dan dipertimbangakan secara matang. Nyawa rakyat merupakan sesuatu yang perlu diprioritaskan oleh seorang pemimpin. Bagaimanapun kesulitan sebuah kepemimpinan, keterjaminan keamanan adalah modal awal melindungi rakyat . Sehingga rakyat tidak perlu takut dan ragu karena keselamatan mereka telah terjamin. Namun di negeri para kapitalis ini jauh panggang dari api. Impian keselamatan rakyat utama hanya menjadi retorika belaka . Sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia (22/3/2020), Presiden menyampaikan bahwa keselamatan rakyat menjadi prioritas utama dalam menangani kasus covid-19 ini. Sebagai manusia apalagi seorang pemimpin dalam sistem sekuler ini secara naluriah upaya menyelamatkan rakyat perlu acungi jempol, tapi keinginan itu tidak sejalan dengan kenyataan. Berbagai komentar dan pertanyaan ,dimana peran pemerintah saat rakyatnya menghadapi corona ini muncul. Fakta di lapangan menunjukkan banyaknya rumah Sakit yang kekurangan Alat Pelindung Diri (APD). Disisi lain mereka menyatakan bahwa keselamatan rakyat adalah utama. Namun dilain pihak justru tidak cepat dalam mengambil kebijakan. Hal itu dilakukan karena pertimbangan ekonomi sehingga pemerintah tak langsung mengambil kebijakan Lockdown atau karantina wilayah karena negara tidak mampu membiayai kebutuhan rakyat disaat Lockdown. Hal ini memperlihatkan bahwa segala kebijakan yang diambil masih mengikuti prinsip pertimbangan materi. Materi dalam hal ini adalah ekonomi, untung-rugi, menjadi pertimbangan besar dalam keputusan kebijakan. Adanya ketakutan pertumbuhan ekonomi bisa nol, membuat pemimpin mengambil kebijakan non Lockdown. Kebijakan pemerintah kapitalistik, menunjukkan penetapan prioritas yang salah, kebijakan pemerintah lebih berpihak pada kepentingan pengusaha dan asing dalam setiap kebijakan.
Cara Islam Menetapkan Prioritas Kebijakan.
Berbeda penanganannya dalam Islam, Islam melindungi rakyat. Islam menjadikan rakyat adalah unsur utama yang harus diselamatkan. Sehingga saat terjadi wabah seperti ini, Islampun menjadikan rakyat sebagai acuan utama.
Bagi seorang pemimpin Muslim ,tugas sebagai pelayan rakyat akan dilakukan. Sehingga ia akan melayani dengan maksimal dan tidak melanggar hukum syariat. Seorang pemimpin yang bervisi Islam akan menjadikan keimanannya sebagai landasan memutuskan kebijakan. Keyakinan kepada Allah SWT, membuatnya tawakkal dan berserah diri pada Allah dalam menghadapi wabah ini.
Menjadi seorang pemimpin di tengah wabah, harus berani mengambil resiko. Tanpa mempertimbangkan masalah mater , yang utama rakyat terselamatkan. Karena standar kebahagiaan seorang muslim adalah ridho Allah ,maka pemimpin muslim akan menjadikan ridho Allah sebagai tujuan. Karena pemimpin yang bervisi Islam adalah pemimpin yang mencintai rakyatnya, menjadikan ketaatan tertinggi hanya pada Allah, memiliki tujuan memimpin untuk memperoleh ridho Allah . Mestinya dalam kondisi seperti ini kita tidak hanya butuh negara hadir tetapi negara yang mampu melindungi segenap warga negaranya, rakyat juga butuh seorang pemimpin yang benar – benar memiliki jiwa kepempimpinan, the real of leadeship, bukan pemimpin yang tidak punya prinsip dan pedoman hidup. Butuh kehadiran seoorang pemimpin beriman yang menjadikan ketaatan pertama-tama hanya kepada Allah dan Rasulnya, kemudian kalau ada perbedaan dalam mensikapi suatu masalah dia kembali kepada Allah ( Al Quran ) dan Rasul ( Sunnahnya). Inilah the real leader. Sebagaimana firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (TQS. An Nisa’ [4] : 59)
Kepemimpinan seperti ini hanya dapat diperoleh dari sistem yang bersandar ketaatan pada Allah, bukan sistem buatan manusia, yaitu Sistem Islam dengan Sistem Pemerintahannya yakni Khilafah.