Oleh : Irayanti S.AB
(Relawan Media)
Di Sulawesi Tenggara (Sultra), stunting tak kalah heboh dengan korona. Stunting bukanlah hal baru, karena pada tahun-tahun sebelumnya Sultra memang sudah masuk kategori daerah yang tingkat stuntingnya lumayan banyak. Pada tahun 2019, gubernur Sultra Ali Mazi mengakui stunting memang menjadi masalah khusus di Bumi Anoa.
Tahun 2020 Sultra masuk menjadi 10 besar provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia. Dilansir dari MediaKendari.com, ke-10 provinsi dimaksud yakni Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.
Mengenal Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis dan akut yang terjadi secara menahun sejak dari awal kehamilan sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak.
Stunting atau gizi buruk yang dialami balita yang gagal tumbuh dan kembang atau kerdil, dimana pertumbuhan anak tidak sesuai dengan umur. Selain dari ciri fisik, stunting mempengaruhi kecerdasan intelektual, emosional yang disebabkan gagal kembangnya otak secara optimal. Bahaya stunting memang perlu dikenali sejak dini, begitu pula ciri-cirinya yakni: anak terlihat lebih pendek dari anak seusianya atau kerdil; anak menjadi lebih pendiam atau apatis (eye kontak rendah); performa memburuk (iQ, daya ingat, dan memori belajar rendah); proses pubertas terlambat akibat pertumbuhan melambat, pertumbuhan gigi terlambat.
Selain faktor gizi, stunting dipengaruhi dengan faktor infeksi penyakit yang menyerang si anak, bisa jadi infeksi ini terjadi karena anak ini tidak mendapatkan imunisasi secara memadai, lingkungan yang tidak bersih, dan pola pengasuhan. Stunting juga terjadi bukan hanya faktor ekonomi akibat asupan nutrisi kurang, tetapi pola asuh orang tua karena ketidaktahuan mereka tentang gizi yang sesuai dan pas untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan anak.
Solusi Kapitalisme
Plt Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sultra, dr. Muhammad Ridwan membenarkan data Sultra masuk 10 besar prevalensi stunting. Lebih lanjut beliau menjelaskan di Sultra sendiri sebanyak tujuh daerah menjadi titik khusus dan menjadi fokus dalam penanganan dan pencegahan terjadinya stunting. Yakni Buton, Kolaka, Muna, Wakatobi, Buton Selatan, Kolaka Timur dan Kabupaten Konawe Kepulauan.
Senada dengan itu, Kepala Seksi Gizi Dinkes Sultra, Almin mengatakan angka stunting di Sultra dibanding tahun lalu mengalami penurunan. Jika tahun 2018-2019 angka stunting di Sultra mencapai sekitar 28,8 persen, sekarang hanya sekitar 27 persen. Untuk menekan angka stunting di Sultra, beberapa upaya terus dilakukan Dinkes. Salah satunya dengan membuat Rumah Cegah Stunting (RCS).
Solusi rezim kapitalisme untuk menekan stunting selain membuat RSC, pemerintah pusat pada tahun lalu oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengusulkan agar satu keluarga memelihara ayam untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Hal ini setali pendapat dengan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Para dokter pun menyampaikan kepada ibu-ibu dan calon ibu untuk sering memakan buah, sayur dan daging dan lainnya (4 sehat, 5 sempurna) untuk sama-sama mencegah stunting.
Jika kita telisik, solusi secara konsep di atas bikin pusing sebagian keluarga. Terlebih kita ketahui akibat kemiskinanlah menjadikan suatu keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhannya untuk mengonsumsi 4 sehat 5 sempurna yang dianjurkan pemerintah. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk memelihara ayam mulai dari makanannya, vitaminnya sampai vaksinnya, tentu angkanya tidak kecil. Maka solusi ini tidak solutif dan tidak tepat, cenderung menyusahkan masyarakat yang hidup di sistem kapitalisme. Wajar, dalam sistem kapitalisme, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, semua pelaksanaan diserahkan kepada individu atau swasta. Jika begitu, diperlukan solusi sistematik untuk mencegah stunting.
Solusi Riil Dalam Potret Islam
Sungguh ironis, Indonesia negara 'gemah rimpah loh jinawi', namun angka stunting malah tidak tertuntaskan. Solusi pemerintah yang “setengah hati” untuk menuntaskan masalah stunting tidak berpengaruh secara signifikan, karena program dan solusi yang dilakukan oleh pemerintah tidak menyentuh pada akar permasalahan penyebab stunting.
Permasalahan stunting adalah masalah sistemik dan kompleks sangat berkaitan dengan kemiskinan, hal inilah yang harus di cari solusinya, bukan justru memberi solusi yang bersifat sementara atau justru memaksa rakyat untuk mandiri menyelesaikan masalah stunting. Sama halnya di bumi anoa (Sultra) yang notabenenya memiliki banyak tambang tapi sayang sungguh sayang kekayaan alamnya milik swasta hingga tidak bisa menyentuh kesejahteraan rakyatnya. Inilah akibat sistem kapitalis sekuler yang bersumber dari akal manusia yang lemah, tentu akan membawa kerusakan dan penderitaan. Terlebih kapitalisme diidentik dengan tunduknya kekuasaan ditangan kapitalis (pemilik modal). Alhasil tambang yang termasuk api dalam kepemilikan umum (air, api dan padang rumput) yang seharusnya dikelola negara untuk menyejahterakan rakyat tidak tercapai.
Kerusakan yang terjadi termasuk persoalan gizi buruk adalah akibat manusia tidak mau menerapkan aturan-Nya. Oleh karena itu kita harus kembali pada hukum yang telah di tetapkan oleh Allah SWT dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Pemimpin yang berhukum dengan aturan Allah akan bertanggung jawab memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada rakyat, salah satunya memberikan asupan gizi yang cukup dengan menyediakannya, mencegah SDA dimiliki oleh individu dan swasta, memberikan pelayanan kesehatan gratis, memberikan pendidikan kepada para rakyat termasuk keluarga sebagai institusi kecil sebuah negara, membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya dan sebagainya. Semua itu diperoleh dari hasil kekayaan alam dan dari baitul mal.
Dalam sirah dikisahkan, khalifah Umar sering melakukan sidak ke rumah-rumah penduduk untuk melihat kondisi rakyatnya. Ketika ditemukan ada keluarga yang kelaparan, beliau bergegas memanggul gandum untuk keluarga tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin dalam sistem Islam sangat takut akan pertanggungjawaban kepada Allah jika ada rakyatnya yang kelaparan karena kemiskinan.
Alhasil, sistem Islamlah yang mampu mensejahterakan semua rakyat, dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh Allah. Agar manusia bisa mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok yang lainnya dengan mudah. Oleh karena itu kita harus bersama-sama kembali kepada aturan pencipta.
Wallahu a'lam bishowwab.