Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Indonesia pernah mendapat julukan negeri Zamrud Katulistiwa, bernuansa hijau dalam bentuk kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Itu dulu, kini kabar Indonesia adalah negara yang ditakuti oleh 59 negara di dunia Karen tingginya tingkat penyebaran Covid-19. Dan juga, masalah yang tak kalah genting, yaitu stunting.
Stunting adalah terganggunya pertumbuhan seorang anak akibat kurang gizi. Dampaknya, biasanya gizi buruk, badan yang kerdil hingga gangguan otak. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, ada 17 kementerian yang terlibat dalam hal penanganan masalah stunting.
Menurut dia, banyaknya kementerian yang menangani hal tersebut justru tidak menyelesaikan masalah. "Stunting itu, yang urusi 17 Kementerian. Tumpang tindih. over lapping, banyak tangan, bukan selesai malah remuk, overload," ungkapnya dalam Sarasehan Virtual 100 Ekonom ( kompas.com, 15/9/2020).
Bisa jadi inilah fokus pemerintah guna turunkan angka stunting. Muhadjir sebelumnya menyebut, angka kekurangan gizi alias stunting di Indonesia hingga kini mencapai lebih dari 27 persen. Sementara, angka kelahiran di Indonesia per tahunnya mencapai 447 juta orang.
Muhadjir menyebutkan anggaran yang digunakan untuk penekanan stunting ini terbilang besar nilainya. "Ada usulan ke Presiden, harus ada terobosan, siapa yang bertangungjawab, karena anggaran cukup besar," kata Muhadjir. Apa yang dikeluhkan oleh Muhadjir ada benarnya. Terlalu banyak yang menangani hingga tak jelas upaya kementrian mana yang membawa hasil sebab dalam sistem hari ini, setiap kementrian berhak mengeluarkan kebijakan.
Hal inilah yang membuat runyam, Kebijakan yang dikeluarkan pun sesuai dengan kebutuhan setiap instansi. Dalam hal ini seharusnya negara yang menjadi penengah, meskipun setiap kementrian tadi bergerak atas dasar perintah kepala negara namun tetap untuk urusan kemaslahatan umat negara wajib menyatukan berbagai pandangan dan menentukan kebijakan tanpa campur tangan yang lain.
Aroma kapitalisme merebak, bisnis telah menguasai suasana pengurusan umat ini, hingga meskipun dana yang dianggarkan dari APBN sangat besar namun pada praktiknya menguap tanpa bekas. Mengapa harus ada perubahan yang signifikan?
Pertama, negara harus hadir sebagai pengurus umat serta penjamin kesejahteraannya, dengan kata lain negara hadir sebagai periayah. Sebagaimana hadis berikut : “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Kedua, kementrian dalam Sistem kapitalisme demokrasi diberi kewenangan membuat peraturan. Ini yang riskan, sebab dalam Islam hanya Allah yang berhak membuat aturan. Manusia yang lemah bahkan detak jantungnya pun ia tak tahu mana mungkin lebih tahu maslahat bagi dirinya.
Ketiga, kondisi stunting tak hanya masalah kurang gizi, namun juga berkaitan dengan aspek ekonomi kapitalis, yang sifatnya opportunity, hanya membela pada sebagian dan mengingkari yang sebagian. Rakyat kecil cenderung menjadi pihak yang lemah dalam mengakses sumber-sumber ekonomi. Demikian juga dengan edukasi kebersihan dan makanan bergizi,
Keempat, APBN sebagai sumber pendanaan rentan untuk disalahgunakan. Sebab selain sumber pendapatannya tidak syar'i demikian pula dengan pemanfaatannya. Maka tak bisa kita berharap selesainya stunting sementara kita masih berkutat pada sistem aturan yang sama, yaitu kapitalis demokrasi. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini