Oleh: Noor Hidayah, MPA
(Pemerhati Sosial)
Saat ini, moderasi agama tengah menjadi fokus program Kementerian Agama. Mulai dari penghapusan konten yang dianggap mengandung radikalisme di buku pelajaran agama, pelatihan guru dan dosen, penyusunan modul pengarusutamaan Islam wasathiyah, madrasah ramah anak hingga yang terbaru pencanangan da’i bersertifikat.
Memang, selepas isu terorisme diaruskan pasca peristiwa 11 September 2001, perang melawan terorisme menjadi program dunia yang diadopsi dan disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri. Kini, terorisme berubah narasi menjadi radikalisme yang dijadikan dasar mengaruskan moderasi agama. Moderasi agama yang dimaksud adalah ajaran Islam yang ramah, tidak ekstrim, radikal atau fundamental. Narasi ini terus dipakai sebagai upaya menjauhkan umat dari ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh).
Upaya mengaburkan Islam dengan label moderat sejatinya adalah proyek yang digagas Barat. Upaya mengerdilkan Islam dengan label ekstrimis, radikalis, atau teroris adalah juga ulah Barat. Barat ingin menebar Islamofobia dan sekularisme di kehidupan kaum Muslim. Hal ini bisa dibaca dari dokumen RAND Coorporation, Lembaga think-tank Amerika Serikat (AS). Lembaga itu telah menerbitkan satu dokumen berjudul “Membangun Jaringan Islam Moderat”. Mereka memberi saran kepada pemerintah AS tentang siapa yang harus menjadi mitra Muslimnya di dunia. Selanjutnya ada USAID, lembaga bantuan milik pemerintah AS yang biasa membiayai program liberalisasi Islam di Indonesia. Bekerjasama dengan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat, ketiganya telah menandatangani kesepakatan untuk mencegah radikalisme, khususnya bagi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kemenag.
Barat lantas mengelompokkan tipikal masyarakat sesuai kepentingan mereka. Politik belah bambu pun digunakan untuk menghancurkan kekuatan dan ikatan umat. Bagi siapa saja yang menerima nilai-nilai dan pemikiran Barat seperti demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme dsb, akan dirangkul dan diberi ‘panggung’. Namun, bagi mereka yang menolak produk pemikiran dan pemahaman Barat, akan dimusuhi dan distigmatisasi negatif. Keberhasilan politik belah bambu ini bisa kita rasakan dengan jelas. Tatkala ada sebagian kelompok dakwah yang berjuang menyerukan Khilafah sebagai ajaran Islam, mereka dicap radikal, anti Pancasila, mengancam NKRI, dan memecah belah bangsa. Padahal bila merujuk fakta, sebenarnya bukan Khilafah yang menjadi ancaman bagi negeri ini. Tapi penerapan ideologi kapitalisme dan potensi bangkitnya komunisme melalui RUU HIP.
Namun, sekalipun Barat amat deras menggelontorkan dana untuk menerapkan berbagai strategi penderasan Islam moderat, Allah SWT akan terus menjaga Al-Qur’an dan As-Sunnah melalui kaum Muslim yang ikhlas menjaga dan memperjuangkan penerapannya. Di seluruh dunia Islam, akan terus muncul penolakan terhadap semua konsep Islam moderat semisal demokrasi, hak asasi manusia, rasionalitas dan konten liberal. Karena para pengemban dakwah memahami bahwa “... Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (Al-Baqarah ayat 256).
Untuk itu dakwah mengaruskan perjuangan melawan Islam moderat harus terus ditegakkan. Upayanya adalah dengan memahami Islam sebagai ideologi, bukan sekadar agama ritual. Pemahaman itu akan membawa konsekuensi untuk mengungkap makar Barat dalam melemahkan umat Islam dan mengerdilkan ajarannya. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.