SHOULD WE END TOXIC MASCULINITY?( Bag.1)



Oleh devina puspita hastira

Beberapa waktu lalu sempat ramai tagar #endtoxicmasculinity di berbagai media sosial. Toxic maculinity sendiri adalah suatu pemahaman “ sempit” tentang maskulinitas. Maskulinitas atau kejantanan sendiri didefinisikan sebagai kekerasan, dan agresivitas. Merupakan ide dari kejantanan yang menganggap bahwa kekuatan adalah segalanya.  Misalnya cara pandang menganggap bahwa laki-laki harus tampil dominan, kuat secara fisik, dilarang mengekspresikan kesedihan seperti menangis dan galau,bahkan mereka tidak segan-segan mengejek  dan membully pria yang menggunakan skincare atau yang tidak “ maskulin” menurut pandangan mereka  dan seterusnya. 
Istilah yang dipopulerkan seorang psikolog, Shepherd Bliss tahun 1990 ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Masyarakat terpecah menjadi dua golongan,ada yang mendukung kampanye tagar #endtoxicmasculinity dan ada pula yang menolak. Berbagai alasan pun  banyak dilontarkan dari berbagai kubu. 
Tidak masalah bahwa seorang pria tidak bisa kuat secara fisik, menangis,bersedih bahkan galau adalah hal manusiawi. Menangis dan bersedih tidak tergantung pada gender. Bahkan apabila seseorang  pria dilarang untuk galau atau menangis , bukankah bertentangan dengan fitrah manusia? Mengenai permasalahan fisik yang lemah, itu adalah hal yang berada di luar kuasa manusia yang tidak perlu dipermasalahkan. Manusia yang dilahirkan dengan fisik lemah atau kuat sekalipun tidak akan dihisab oleh allah, selama tubuh kita digunakan untuk hal yang baik, mengapa tidak? Sama halnya dengan permasalahan skincare, skincare tidak terikat gender.jika para kubu pro menyamakan pria yang menggunakan skincare sama dengan wanita, itu adalah hal yang aneh. Skincare digunakan untuk merawat dan memperbaiki kerusakan yang ada pada pada kulit. Dengan merawat kulit, bukankah  hal ini adalah bentuk rasa syukur atas apa yang diberikan allah Swt? Lalu dimana salahnya? 
Istilah maskulinitas bisa saja baik untuk membangun identitas seseorang di lingkungan sosial, tetapi jika seseorang tidak bisa mencapai standar tersebut maka hal itu akan mengarah pada toxic maculinity. Dampak bagi mereka yang tidak dipandang sesuai dengan standar “laki-laki” di lingkungan mereka tentunya berbahaya. Ada yang murung, menjadi anti sosial, menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa mencapai standar yang telah ada. 
Selain itu toxic masculinity berkontribusi pada pada kecenderungan pria untuk bersikap agresif dan negatif pada wanita, seperti kekerasan,  serta diskriminasi gender. Sedangkan  mereka menganggap itu adalah hal yang wajar karena kasar, urakan, brutal,dan agresif adalah  hal yang lumrah bagi pria. 
Tetapi dibalik itu semua ada beberapa pihak yang menyalah gunakan tagar ini. Adalah orang orang yang keluar dari fitrahnya sebagai lelaki. Dengan memgaungkan tagar #endtoxicmasculinity seakan berlindung di balik tagar ini dan nenanamkan stigma bahwa “sedikit” keluar dari fitrah dengan berperawakan bukan seperti pria bukanlah hal yang tabu. Padahal sangat jelas seorang lelaki dilarang berpenampilan menyerupai lawan jenisnya. seakan menjadi tameng, tagar ini digunakan untuk pembenaran terhadap perilaku mereka
Dampaknya masyarakat akan semakin kebingungan, haruskan mendukung atau menolak kampanye tagar ini. So should we and toxic masculinity? 


 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak