Oleh : Lishna Almeera
(Pemerhati Remaja)
Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya mengurus rumah? Emang kamu enggak mainder gitu? Ngabisin uang orang tua untuk sekolah, tapi ujung-ujungnya hanya kerja di dapur. Suara-suara sumbang seperti ini sering kita dengar dikala ada seorang wanita yang menjalani hidup sebagai ibu berumahtangga. Yang dulunya masih gadisnya menjadi wanita karir, tapi setelah menikah malah focus rumah tangga. Berbagai pertimbangan tentunya. Khawatir nanti kalau kerja diluar gimana dengan anaknya, siapa yang urus? Masa sih nyuruh ibu atau mertua yang jaga. Pun memikirkan keperluan suami dan rumah yang nantinya jika kerja diluar mencari nafkah siapa yang urus itu semua.
Tak heran kenapa banyak cibiran atau suara-suara sumbang yang menghampiri. Sebab gini racun feminism sukses membuat para wanita menjadikan materi jadi standar kebahagiaan. Itulah kenapa banyak wanita masa kini terus mengejar karir selayaknya pria yang mencari nafkah. Yah, wanita karir menjadi titel yang dibanggahkan. Wanita berpendidikan itu perlu, tapi tidak menyaingi para laki-laki. Wanita yang berpendidikan dalam Islam bukan untuk menyetarakan dengan kaum laki-laki tapi untuk mempersiapkan diri menjadi madrasah pertama untuk anak-anaknya sesuai syariat Islam. Mencetak anak-anak mampu melahirkan generasi-genarari tangguh bukan generasi micin. Bukankah wanita tidak wajib mencari nafkah. Laki-lakilah yang wajiba mencari nafkah.
Kita bisa mengambil ibro dari kisah ibu imam syafi’i. Ayah Imam asy-Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunyalah yang membesarkan, mendidik, dan memperhatikannya hingga kemudian Muhammad bin Idris asy-Syafi’i menjadi seorang imam besar. Ibunya membawa Muhammad kecil hijrah dari Gaza menuju Mekah.
Di Mekah, ia mempeljari Alquran dan berhasil menghafalkannya saat berusia 7 tahun. Kemudian sang ibu mengirim anaknya ke pedesaan yang bahasa Arabnya masih murni. Sehingga bahasa Arab pemuda Quraisy ini pun jadi tertata dan fasih.
Setelah itu, ibunya memperhatikannya agar bisa berkuda dan memanah. Jadilah ia seorang pemanah ulung. 100 anak panah pernah ia muntahkan dari busurnya, tak satu pun meleset dari sasaran.
Dengan taufik dari Allah ﷻ kemudian kecerdasan dan kedalaman pemahamannya, saat beliau baru berusia 15 tahun, Imam asy-Syafi’i sudah diizinkan Imam Malik untuk berfatwa. Hal itu tentu tidak terlepas dari peranan ibunya yang merupakan seorang muslimah yang cerdas dan pelajar ilmu agama. (https://kisahmuslim.com/5227-ibunda-para-ulama.html)
So profesi sebagai ibu rumahtangga bukan aib kok. Enggak usah minder. Bukankah seorang wanita tanpa bekerjapun diberi ganjaran pahala Syurga. Rasulullah bersabda, jika seorang wanita selalu menjaga shalatnya 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatanya sebagimana syariat mengaturnya, dan taat kepada suaminya. Maka dikatakan kepada wanita “ Masuklah ke syurga melalui pintu manapun yang kalian inginkan.”(HR. Ahmad). Begitu spesialnya seorang wanita. Hanya melakukan ke empat hal tersebut.
Pun alasan wanita lebih baik di rumah karena wanita itu aurat. Disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya
“Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia keluar rumah maka setan menyambutnya. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan Allah adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”. (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1685 dan Tirmidzi no. 1173. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Allah Ta’ala berfirman
“..dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS: Al Ahzaab : 33). So buat wanita yang sudah bergelar istri dan berpendidikan enggak usah minder kalau pada akhirnya profesi menjadi ibu rumah tangga. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Yang salah itu ketika ibu berpendidikan tinggi tapi tidak mampu mencetak anak-anak sesuai syariat Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab