Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Pandemi Covid-19 membuat fenomena pemasaran baru dalam bisnis restoran. Seperti yang dilakukan pegawai Pizza Hut, mereka menjajakan jualannya di pinggir jalan.
Langkah ini sebagai upaya bertahan di tengah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di mana restoran dilarang dilarang memberikan pelayanan secara dine in atau makan di tempat.
Selain Pizza HUT, masih ada perusahaan lain seperti Pem-Pek Farina, berbagai produk Thai Tea dan lain-lain. Produk yang biasa tampil di mall tempat tongkrongan anak muda kini terpaksa harus mengikuti zaman, turun ke jalan mengikuti gaya pedagang kaki lima.
Menurut salah satu pegawai Pizza Hut, Susi, cara berjualan di pinggir jalan ini agar pegawai tidak banyak dirumahkan atau adanya pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini dikarenakan banyak pegawai yang sudah di PHK.
"Karena banyak di PHK ada yang dirumahkan tanpa digaji jadi mau enggak mau perusahaan lakukan ini biar enggak banyak yang di-PHK karena karyawan banyak," jelasnya (okezone.com, 27/09/2020).
Covid-19 kian merajalela, berbagai kluster baru bermunculan, korban meninggalpun kian bertambah banyak. Akibatnya ekonomi makin menegangkan, bagi perusahaan tinggal menunggu detik-detik perusahaannya terlempar dan gulung tikar.
Berbagai inovasi dilakukan, diantaranya jualan di jalan yang identik dengan nuansa kaki lima, harga lebih menarik. Namun tetap saja tak akan bertahan lama, sebab mereka hanya pelaku bisnis kelas teri yang bakal terguling oleh pelaku kelas kakap.
Pandemi Covid-19 hanya satu dari sekian faktor penyebab melemahnya ekonomi. Apa yang kemudian disebut oleh menteri ekonomi Sri Mulyani sebagai resesi sesungguhnya sudah berjalan cukup lama. Bukan semata karena Pandemi namun memang ini siklus tahunan dalam sistem ekonomi Kapitalisme.
Pemerintah sendiri kini juga mengandalkan usaha mikro milik rakyat atau UMKM dalam menggenjot perekonomian, sayangnya terlupakan, usaha rakyat ini usaha kaki lima alias hanya berkutat pada makanan yang pencarian sumbernya relatif kecil. Sementara kita ditipu oleh kebijakan yang membolehkan mengeksplorasi SDA Indonesia berlebihan.
Islam tak mengenal resesi, sebab perekonomian ada pada sektor real, berupa muamalah nyata yang mempertemukan penjual dan pembeli dalam satu tempat. Begitupun dengan pembayaran, tidak menerima cara pemanfaatan uang atau yang disebut dengan riba.
Hal yang juga membuat banyak perusahaan restoran bangkrut adalah pajak, Indonesia dan juga negara-negara penganut kapitalisme selalu menyandarkan pendapatan terbesar pada pajak. Padahal pajak itu membebani, tidak setiap orang punya penghasilan yang sama, akibatnya pasti ada kasus penilepan pajak, pajak yang tak terbayarkan dan sebagainya.
Perekonomian akan pulih kembali jika sistemnya diatur oleh syariat Islam. Dimana pengelolaan pendapatan negara tak lagi bertumpu pada pajak dan utang, tapi pada pengelolaan kepemilikan umum dan negara. Serta penggunaan mata uang emas dan perak sebagai pengganti uang kertas yang tak bernilai. Wallahu a'lam bish showab.
Tags
Opini