Oleh : Nisa Agustina, M.Pd
(Pendidik dan Pemerhati Sejarah)
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya.”
Ungkapan di atas seharusnya menjadi cermin bagi kita untuk lebih memperhatikan sejarah. Sayangnya, alih-alih menghargai dan berkaca pada sejarah, para pemimpin di negeri ini malah mencoba menutupi dan bemain-main dengan sejarah. Setelah sebelumnya sejarah Islam di Madrasah terbuldozer oleh kebijakan Menteri Agama kini Mendikbud melakukan langkah yang serupa dengan menempatkan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran pilihan di SMA, bahkan menghilangkannya di SMK.
Rencana perubahan pendidikan sejarah di SMA/SMK tersebut tertuang dalam draf sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tertanggal 25 Agustus 2020. Di dalam draf itu disebutkan, mata pelajaran sejarah hanya menjadi bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di kelas X dan mata pelajaran pilihan di kelas XI dan XII. Sedangkan di SMK, dinyatakan tak ada mata pelajaran sejarah. Draf ini beredar di kalangan akademisi dan para guru, dan ini yang kemudian menjadi polemik di masyarakat (kompas.com, 19/09/2020).
Terkait polemik tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah membantah bahwa pihaknya akan menghapus mata pelajaran sejarah dari kurikulum pendidikan di Indonesia. Tapi meski akhirnya direvisi, masyarakat perlu faham bahwa rencana penyederhanaan kurikulum yang berefek tidak wajibnya pelajaran sejarah untuk SMA/SMK adalah berbahaya karena bisa menghilangkan memori masyarakat tentang jasa ulama bagi negeri, menghapus tragedi kekejaman PKI dan lain-lain.
Belum lama ini kita dikejutkan dengan munculnya referensi baru tentang G.30 S/PKI yang ditulis di Wikipedia edisi terakhir. Edisi yang berisi “Pembantaian di Indonesia 1965-1966”, meggambarkan seolah peristiwa G 30 S /PKI bukanlah sebuah pemberontakan melainkan sebuah perlawanan. Dalam artikel tersebut dijelaskan perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, dan lucunya justru menyiratkan bahwa PKI bukan sebagai pelaku kejahatan tapi digambarkan sebagai korban.
Demikian pula dengan sejarah Islam di Indonesia yang sudah beberapa kali mengalami distorsi (pembelokan sejarah). Distorsi pada masa sekarang terutama dipengaruhi kuatnya hegemoni kapitalisme, juga karena fitnah penjajah pada umat Islam di Indonesia. Saat ini, muncul anggapan bahwa orang-orang Islam menyebarkan agamanya dengan cara radikal sehingga merusak karakter dasar masyarakat Indonesia yang santun-beradab dan kemudian Islam dituduh sebagai agama yang memecah belah masyarakat dan membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pembatasan pemutaran film Jejak Khalifah di Nusantara adalah contoh nyata upaya pengaburan sejarah. Padahal film dokumenter tersebut digali dari berbagai fakta sejarah oleh para sejarawan, baik secara napak tilas dan studi pustaka. Namun oleh beberapa “penafsir” sejarah versi penguasa, Jejak Khalifah di Nusantara disebut sebagai pembelokan sejarah Khilafah. Bahkan konsep khilafah pun dianggap sebagai sebuah konsep usang yang hanya berlaku pada zaman sahabat saja (Khualafaur Rasyidiin). Bahkan sebagian malah menafikan jejak khilafah di beberapa kesultanan di Nusantara yang sudah pernah berbaiat ke Khilafah Utsmani.
Kasus ini semakin menguatkan bahwa sejarah dapat direkayasa dan dapat ditafsirkan sesuai kehendak siapa yang berkuasa. Sejarah dalam Bahasa Inggris sering diplesetkan menjadi ”his story” atau kisah tentang dirinya, yakni pihak pemenang atau penguasa. Sejarah bagi mereka hanya terkait soal kebenaran klaim politik.
Padahal kata sejarah secara terminologis berasal dari kata Arab, syajaratun yang bermakna pohon. Makna yang terkandung dibalik kata tersebut adalah bahwa peradaban manusia selalu tumbuh dan berkembang. Layaknya batang pohon, sejarah selalu berkesinambungan. Selain itu sejarah diumpamakan sebagai pohon karena setiap kejadian dalam sejarah selalu memiliki akar hingga buah. Sejarah adalah proses sekaligus hasil dari pertumbuhan sebuah peradaban bangsa. Maka dari itu, sejarah selalu menyuguhkan rekaman lengkap jatuh bangunnya sebuah bangsa.
Menurut Ibnu Khaldun dalam magnum opusnya Muqaddimah, sejarah merupakan informasi tentang organisasi sosial manusia yang sangat identik dengan peradaban dunia. Sejarah membicarakan keadaan-keadaan yang memengaruhi sifat peradaban misalnya kebiadaban, keramahan dan cara-cara tertentu yang digunakan sebuah kelompok manusia untuk mencapai keunggulan.
Dalam Alquran, Allah juga seringkali mengingatkan manusia untuk senantiasa belajar dari sejarah. Misalnya, kisah sosok penguasa yang mempunyai perangai zalim seperti Firaun. Karena kezaliman dan kesombongannya, Firaun harus menanggung hukuman berupa penenggelamannya di laut merah.
Alquran memiliki metode tersendiri dalam menggambarkan sejarah yakni dengan banyak sekali menceritakan kisah-kisah tentang bangsa, nabi atau tokoh-tokoh terdahulu. Bahkan, hampir dua pertiga dari isi Alquran berupa kisah. Kisah-kisah tersebut diharapkan dapat mempermudah manusia untuk mengambil hikmah dari kisah-kisah tersebut. pada titik inilah, kita melihat bahwa betapa Alquran menganggap penting sebuah sejarah.
Oleh karena itu, jika pelajaran sejarah berusaha dikaburkan atau malah dihilangkan, sungguh itu merupakan kerugian yang nyata. Karena generasi yang tidak paham sejarah mereka tidak akan mengenal kejayaan masa silamnya seperti perjuangan pahlawan melawan penjajah kolonial, kejayaan kerajaan-kerajaan Islam yang pernah ada di Indonesia, sejarah kemerdekaan Indonesia dan peran ulama mengusir penjajah dari bumi Nusantara.
Mengurangi peran penting pelajaran sejarah dalam ilmu pengetahuan akan memalingkan peserta didik dari peristiwa sebenarnya yang pernah terjadi. Mereka akan menjadi generasi yang tidak kenal sejarahnya, tidak bangga dengan kegemilangan yang pernah diraih bangsanya. Tidak juga merasa berkewajiban untuk memperjuangkannya. Padahal, pengetahuan tentang sejarah bisa menjadi pembangkit kesadaran masyarakat terhadap kejayaan yang pernah diraih oleh bangsanya. Kalaupun diperlukan adanya rekontsruksi sejarah maka jangan sampai pelajaran sejarah ini hanya sebatas mengulas masa lalu (digging up the past) tapi juga harus bisa mengemukakan kebenaran (digging up the truth). Jika sejarah itu benar, maka ibrah atau pelajaran yang akan didapat juga benar. Namun jika sejarah itu ditulis salah, maka ibrah yang akan didapatkan pun salah.
Di dalam Islam, urgensi mempelajari sejarah adalah semangat menggali sumber-sumber yang terpercaya baik terkait sirah Rasulullah saw, tarikh peradaban Islam, maupun kisah-kisah para pejuangnya. Ketika mendapatkan fakta yang benar, masyarakat akan tertunjuki, dan mereka akan sadar siapa pihak yang berada dalam kebenaran dan layak diikuti, serta mana pihak yang akan menjerumuskan mereka pada kesesatan.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb