Oleh. Lina Ummu Dzakirah
Akhir-akhir ini publik dihebohkan kembali dengan isu islamphobia. Isu ini kembali menyeruak terlebih di sosial media. Kejadian bermula ketika salah seorang peserta Musabaqoh Tilawatil Al-Quran (MTQ) ke-37 Provinsi Sumatera Utara (Sumut) memilih mundur dari perlombaan karena menolak melepas cadarnya.
Waktu itu, sesaat sebelum peserta bercadar membaca al-Qur’an, dewan juri memerintahkan kepada peserta tersebut untuk melepas cadarnya. Dewan juri berasalan itu melanggar peraturan yang sudah disahkan pada Rakernas Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an tahun lalu di Pontianak. Tetapi Peserta itu tidak mau melepaskan cadarnya dan memilih mundur meninggalkan panggung perlombaan.
Sontak, kejadian ini mendapat perhatian dan komentar dari berbagai kalangan di media sosial. Dengan berbagai dalih dan alasan, ada yang menyalahkan dewan juri dan ada pula yang mengecam peserta bercadar itu. Lantas, siapa yang patut disalahkan atas kejadian tersebut. Mengingat hal ini bersinggungan dengan hukum fikih dan peraturan perlombaan yang sama-sama harus ditegakkan.
Seharusnya Juri menghormati peserta tersebut. Walaupun sudah ditentukan peraturan tidak boleh nya menggunakan cadar saat Tilawatil Qur'an, maka panitia sudah mempersiapkan terlebih dahulu kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi. Jika memang takut karena penyalahgunaan cadar untuk penipuan, itu mudah menanganinya cukup saat sebelum giliran masuk mereka dibawa keruang khusus dan diperiksa oleh panitia wanita.
Tidak dapat dipungkiri pendapat cadar atau hijab diwajibkan atas wanita adalah pendapat yang islami. Sebaliknya cadar dalam islam tidak diwajibkan atas wanita sehingga seorang muslimah tidak wajib menutupi wajahnya secara mutlak karena wajah bukanlah aurat juga pendapat yang Islami. Kedua pendapat tersebut juga telah dikemukakan oleh sebagian pemuka Mujtahid dari berbagai mazhab.
Masalah ini merupakan salah satu masalah penting dalam interaksi antara pria dan wanita. Pengadopsian dari salah satu pendapat dari kedua pendapat tersebut akan mempengaruhi corak kehidupan yang islami, sehingga perlu mengkaji dalil-dalilnya agar kaum Muslim dan daulah islamiyah nantinya akan dapat mengadopsi pendapat yang paling rajih didasarkan pada kekuatan dalilnya. Ditambah lagi wacana atau perdebatan tentang cadar ini seringkali digunakan oleh kafir penjajah untuk Menyerang islam, merusak kaum muslim serta menyebarluaskan keragu-raguan dalam diri kaum Muslim terhadap agama mereka.
Pendapat yang mengatakan bahwa wajah perempuan tidak termasuk aurat ini juga didukung dalam madzhab Hanafiyah. Sebagaimana penjelasan:
وَجَمِيعُ بَدَنِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَيْهَا بَاطِنَهُمَا وَظَاهِرَهُمَا فِي الْأَصَحَّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ
“Seluruh bagian tubuh wanita merdeka termasuk aurat kecuali wajahnya dan kedua telapak tangan bagian dalam dan bagian luarnya, ini adalah pendapat paling shahih yang menjadi pilihan dalam madzhab kami”. (lihat: Maroqi al-Falah, hlm 91)
Berdasarkan beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama mewajibkan penggunaan cadar merupakan konsekuensi logis yang harus dilakukan untuk menutup wajah yang menjadi aurat bagi perempuan. Pendapat ini dibenarkan oleh imam Ibnu Qosim al-‘Ubadi dan imam ar-Ramli.
Adapun menurut pendapat kedua, bahwa para ulama yang mengatakan wajah tidak termasuk aurat mengatakan hukum bercadar adalah tidak wajib. Sebagaimana keterangan yang disampaikan dalam kitab as-Syarh al-Kabir:
(وَ) كُرِهَ (انْتِقَابُ امْرَأَةٍ) أَيْ تَغْطِيَةُ وَجْهِهَا بِالنِّقَابِ وَهُوَ مَا يَصِلُ لِلْعُيُونِ فِي الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ مِنْ الْغُلُوِّ وَالرَّجُلُ أَوْلَى مَا لَمْ يَكُنْ مِنْ قَوْمٍ عَادَتُهُمْ ذَلِكَ
“Makruh bagi seorang perempuan menutup wajahnya dengan cadar yaitu penutup yang sampai mata saat salat, karena hal itu termasuk berlebihan, apalagi bagi lseorang aki-laki. Kemakruhan ini berlaku selama penggunaan cadar bukan bagian dari tradisi masyarakat setempat”. (lihat: as-Syarh al-Kabir, I/218)
Penjelasan tersebut ditegaskan kembali dalam kitab yang mengkomentarinya, yakni hasyiyah ad-Dasuqi. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa kemakruhan memakai cadar tersebut juga berlaku di luar salat. Pendapat mengatakan bahwa memakai cadar termasuk hal yang berlebihan dengan bertendensi bahwa tidak ada hadis yang secara spesifik menganjurkan penggunaan cadar. (lihat: Hasyiyah ad-Dasuqi, I/218).
Sudah menjadi rahasia umum didalam ideologi kapitalisme-sekulerisme kasus seperti ini selalu menjadikan perdebatan. Tak ada satu pun ideologi di dunia ini yang menempatkan perempuan dengan pandangan yang benar, selain Islam. Tidak ada satu pun agama, selain Islam, yang memberikan jaminan kehormatan kepada perempuan dengan perlakuan yang benar. Wajib kita yakin bahwa ideologi dan agama selain Islam bersumber dari akal manusia yang terbatas dan dari perasaan yang cenderung dikuasai hawa nafsu. Sebaliknya, Islam berasal dari Allah subhanahu wa ta'ala, Pencipta manusia, Yang mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan perempuan.
Saat perempuan menunaikan kewajiban mereka atau menunaikan kepentingan mereka di luar rumah, mereka harus menutup seluruh tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangannya. Saat mereka bepergian dengan perjalanan 24 jam atau lebih, mereka harus disertai oleh mahram laki-lakinya. Mereka pun dilarang untuk melakukan pekerjaan yang akan merendahkan martabat mereka Semisal menjadi sales promotion girls, pekerja seks komersial dan sebagainya; pemandu lagu di café, hotel dan sebagainya. Semua aturan ini dalam rangka menjaga dan melindungi kehormatan perempuan sehingga mereka hidup dalam kemuliaan.
Untuk menjaga hubungan kerjasama laki-laki dan perempuan di publik, Islam menetapkan agar masing-masing mereka menjaga pandangannya satu sama lain. Tidak boleh khalwat (berduaan) dengan lawan jenis saat pelaksanaan aktivitas kerjasama tersebut. Masing-masing harus meningkatkan ketakwaan saat berinteraksi bersama serta fokus pada apa yang dimaksudkan dari aktivitas bersama tersebut.
Seperti itulah Islam menempatkan perempuan dan memberi mereka perhatian dan penjagaan dengan cara memenuhi hak-hak mereka sesuai dengan hukum syariah. Penerapan seluruh hukum tersebut memerlukan kontrol dari pihak di luar keluarga. Pasalnya, dalam kehidupan publik, selain melalui kesadaran individu dengan ketakwaan, penjagaan dilakukan juga oleh dukungan lingkungan yang meniscyakan adanya penjagaan kehormatan terhadap perempuan. Karena itu dalam Islam tanggung jawab penjagaan kehormatan dan kemuliaan perempuan juga dibebankan kepada Negara (Khilafah).
Dalam hal ini Khilafah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa para perempuan terpenuhi hak-haknya di dalam rumah oleh para walinya. Khilafah harus memisahkan tempat laki-laki dan perempuan di lingkungan pendidikan. Khilafah harus memberlakukan sanksi hukum bagi pelaku pelecehan, mengontrol pelaksanaan pernutupan aurat perempuan di area publik, dan sebagainya.
Khilafahlah yang dapat mewujudkan hal di atas. Dalam sistem Khilafah, perempuan mendapat jaminan pemenuhan hak-hak dasar hidup mereka, juga mendapat perlindungan terhadap posisi dan perannya yang strategis dalam kehidupan umat. Perempuan adalah warga negara yang bermartabat dan terhormat. Setiap interaksi mereka dengan laki-laki dalam kehidupan publik untuk menunaikan tugasnya sarat dengan perlindungan. Setiap pandangan, perkataan dan tindakan yang mengandung unsur pelecehan atau eksploitasi perempuan akan segera ditangani.
Sulit rasanya membayangkan ada jaminan kemuliaan terhadap perempuan pada sistem selain Islam. Ideologi sekular tidak akan pernah memberi kemuliaan hakiki pada perempuan. Ia memberi harapan palsu dengan kebahagiaan materi dan fisik sesaat, namun menggadaikan kebahagiaan sejati perempuan. Padahal fitrah penciptaan perempuan adalah menjadi seseorang yang berharga, terhormat dan mulia.
Peran perempuan Muslimah ini akan menjadi panutan yang layak dan menginspirasi para perempuan lain di seluruh dunia. Sungguh, para Muslimah berhak membanggakan diri di depan perempuan di seluruh dunia karena penghormatan tinggi yang Islam berikan kepada mereka. Tentu kita punya kewajiban untuk mengejawantahkan kembali kemuliaan perempuan dalam sistem Islam: Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah. []