Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Rekam jejak digital berkali-kali "makan" korban. Entah itu publik figur maupun rakyat sipil. Tak terkecuali presiden kita , bapak Joko Widodo. Mantan walikota Solo itu menjadi bulan-bulanan warga Twitter, berawal dari pernyataan beliau yang selalu menyertakan angka 2 minggu.
Seperti contoh, perkataan presiden ketika mengunjungi posko Gugus Tugas Percepatan penanganan Covid-19 di Gedung Grahadi, Surabaya, "Saya minta dalam waktu dua minggu ini pengendaliannya betul-betul kita lakukan bersama-sama dan terintegrasi dari semua unit organisasi yang kita miliki di sini," (kompas.com,25/6/2020).
Atau ketika beliau mengumumkan bantuan tunai Rp 600 Ribu untuk karyawan swasta akan cair dalam 2 Minggu, "Insyaallah dalam seminggu, dua Minggu ini, ini sudah akan keluar," kata Jokowi saat mengunjungi Posko Penanganan Covid-19 Jawa Barat di Kodam III/Siliwangi, Bandung, Selasa (tribunnews.com,11/8/2020).
Dan masih banyak lagi, saking seringnya hingga nitizen berkomentar," jangan-jangan daya ingatnya hanya 2 Minggu", atau, " kog seperti CCTV ya, setiap dua Minggu data lama terhapus dan ganti data baru".
Menggelikan memang, sekelas presiden ketika berbicara juatru menjadi bahan tertawaan rakyatnya. Apakah ini indikasi menurunnya kepercayaan masyarakat atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang cepat terlontar sekaligus juga cepat menguap sebab terlalu lama eksekusinya, bahkan tak jarang benar-benar menguap sebab tak ada tindak lanjutnya.
Semestinya seorang pemimpin adalah bersikap negarawan. Artinya secara lisan dan perbuatan bisa dipertanggungjawabkan. Allah berfirman dalam Quran Surat Qaaf 50:18 yang artinya, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir."
Pemimpin adalah orang pertama yang menjadi teladan bagi mereka yang dipimpin. Ia adalah terbaik diantara yang terbaik, hal ini sangat sulit didapat dalam sistem kapitalis demokrasi , asas sistem ini adalah sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Sehingga tak ada standar baku yang mengatur perbuatan seseorang termasuk apa yang ia katakan . Berbohong adalah halal, bahkan bicara omong kosong atau menghina sesama adalah kebebasan. Bagian dari hak yang dilindungi undang-undang.
Sedang Islam sangat keras memperingatkan kepada pemeluknya , dari Abu Hurairah disebutkan, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)" (HR: al-Bukhari dan Muslim).
Diam bukan berarti kalah atau bodoh, namun jika diam berarti menyelamatkan seseorang dari tindakan bodoh maka ia adalah pilihan terbaik. Maka, Islam mewajibkan beberapa hal pertama menuntut ilmu agar lisan hanya mengeluarkan sesuatu yang bermanfaat. Semakin berat ilmu seseorang maka semakin ia takut kepada Allah jika lisannya berkhianat. Kedua, Tabayyun setiap kali mendengar berita yang datang. Tak langsung menyimpulkan sehingga jatuh dalam sifat syak wasangka.
Terlebih bagi seorang pemimpin , dimana setiap kebijakan yang ia legalisasi jika salah berakibat fatal bahkan menzalimi rakyatnya. Maka jadilah seharusnya pemimpin sepaket dengan apa yang ia bawa ( sistem/ aturan). Dan sistem itu adalah syariat Islam. Siapapun akan selamat jika berpegang teguh kepada Islam, lisannya terpercaya begitu pula tingkah lakunya. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini