Oleh : Marya Wahyudi
Beberapa waktu lalu, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Cahyo Kumolo mengungkap fenomena poliandri di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Bahkan kasus poliandri untuk satu tahun ini ada lima laporan. (Republika.co.id, 29/08/2020).
Poliandri adalah sistem perkawinan di mana seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan.
Aturan poligami dan poliandri diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan ini, ASN tidak diperbolehkan melakukan poligami maupun poliandri.
Bagi ASN yang melanggar, akan dikenai sanksi sesuai hasil BAP-nya. Bahkan sanksi terberat adalah pemberhentian atau pemecatan sebagaimana disampaikan Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Paryono. (detik.finance, 29/08/2020).
Subur di Sistem Sekuler
Sebelum kasus poliandri, kasus gugatan cerai meningkat di kalangan ASN. Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Bukan lagi karena alasan ekonomi. Maraknya perceraian di kalangan ASN sekarang lebih banyak disebabkan karena adanya perselingkuhan.
Sebagaimana kata pepatah, tidak ada asap jika tidak ada api. Maraknya kasus-kasus di atas bukanlah tanpa sebab. Beratnya tuntutan tugas sering menjadikan ASN lebih banyak menghabiskan waktu di kantor ketimbang berkumpul bersama keluarga di rumah.
Bahkan tidak sedikit ASN yang terpaksa tinggal berjauhan dengan pasangan mereka. Rumitnya aturan mutasi, menjadikan ASN menjalani LDR dengan pasangan dalam waktu yang cukup lama.
Di sisi lain, pemenuhan ghorizah nau´ (naluri seksual) dibutuhkan. Terlebih dalam sistem sekuler seperti saat ini, di mana konten-konten berbau porno marak. Perzinaan dikemas rapi berbalut teknologi. Ekonomi yang mapan namun tidak dibarengi dengan iman yang berkualitas, menyebabkan deretan kasus memprihatinkan tersebut terjadi.
Islam Memandang
Islam mempunyai seperangkat aturan yang dengan aturan tersebut, wanita menjadi mulia. Ada aturan menutup aurat, menjaga pandangan, tidak bertabarruj, tidak berkhalwat maupun ikhtilat. Jika melakukan safar, seorang wanita harus ditemani mahromnya.
Bagi yang telah menikah, Islam mengatur kewajiban untuk taat pada suami (sepanjang tidak dalam hal maksiat), memenuhi hak-hak suami. Bahkan Allaah menjadikan Muthi´ah sebagai wanita yang pertama masuk surga (selain wanita penfhulu surga yang empat) karena menjaga hak-hak suaminya.
Rasulullaah sholallaahu ´alayhi wa salam bersabda, “Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui wanita pertama yang masuk surga selain Ummul Mukminin, ia adalah Ummu Mutiah.”
Islam juga melarang poliandri. Dalam Islam, nasab begitu diperhatikan. Karena nasab erat kaitannya dengan perwalian, waris, hukum pernikahan ketika anak telah dewasa dan sebagainya.
Hukum wanita bekerja dalam Islam adalah mubah (boleh) sepanjang tidak bermaksiat di dalamnya. Sebaliknya, menjadi ummu wa robbatul bait adalah kewajiban seorang ibu.
Wallaahu a´lam.